Bagi kalangan pebisnis, kabinet yang membengkak akan menjadi masalah. Mau tidak mau, akan ada lebih banyak rintangan birokrasi yang harus dihadapi.
Ada pepatah, "semakin ramai akan semakin meriah". Tapi, hal itu tidak berlaku jika menyangkut kabinet di pemerintahan.
Memang benar bahwa presiden terpilih Prabowo Subianto belum memutuskan jumlah kementerian dan lembaga yang akan dibentuknya, setelah ia resmi memangku jabatan presiden pada 20 Oktober. Namun, DPR telah membuka jalan bagi niat Prabowo, jika memang ada, untuk memperbanyak jumlah anggota kabinet. DPR baru-baru ini menyetujui revisi Undang-Undang Kementerian, menghapus jumlah maksimum 34 kementerian. Undang-undang hasil revisi memungkinkan presiden untuk mengangkat menteri sebanyak yang ia inginkan.
Kemungkinannya bisa sebanyak-banyaknya. Beberapa politisi dalam Koalisi Indonesia Maju memperkirakan jumlah kementerian bisa bertambah, hingga menjadi setidaknya 44 orang.
Sekutu dan partai politik yang mendukung presiden terpilih mungkin menganggap ditambahnya jumlah anggota kabinet sebagai kabar baik. Alasannya, Prabowo akan memastikan semua orang mendapat bagian dalam pemerintahan. Saat ini, tujuh dari delapan partai di DPR mendukung Prabowo.
Namun, bagi kalangan bisnis, kabinet yang membengkak akan menjadi masalah. Kabinet lebih banyak berarti lebih banyak juga rintangan birokrasi yang harus dihadapi, juga akan ada lebih banyak aturan. Birokrasi berbelit tentu menghambat kemudahan berbisnis.
Kita bisa menebak bahwa kalangan bisnis perlu mempelajari setiap jalur birokrasi dan kerangka hukum baru. Aturan dan birokrasi lama yang mereka pahami akan menjadi tidak relevan. Proses yang demikian bisa berharga mahal bagi perekonomian.
Menambahkan lebih banyak kementerian dapat menyebabkan inefisiensi dan mempersulit koordinasi dalam merumuskan dan menerapkan peraturan. Jika demikian, kalangan bisnis kemungkinan besar akan menjadi pihak yang paling menderita. Lalu, ekonomi serta konsumen yang pada akhirnya menanggung akibatnya.
Hal ini bukan pertanda baik, ketika lingkungan regulasi benar-benar penting bagi investor. Bagaimana pun, hanya negara-negara yang dapat menawarkan kinerja terbaik yang akan menarik investasi yang dibutuhkan untuk menopang perekonomian.
Pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang akan lengser dan pemerintahan baru bisa saja berargumen bahwa Indonesia toh telah menetapkan sistem pengajuan izin tunggal secara daring (online single submission atau OSS). Layanan perizinan terpadu besutan pemerintah itu mampu mengintegrasikan proses perizinan usaha di beberapa lembaga di Indonesia. Dunia perizinan di Indonesia sebelumnya banyak digambarkan sebagai “hutan belantara”.
Meski begitu, mari bersikap realistis. Pemilik usaha masih menghadapi berbagai prosedur yang rumit, meskipun sistem baru telah diterapkan sejak 2018. Implementasi OSS di lapangan juga masih belum konsisten.
Inilah saat yang tepat untuk benar-benar membuat OSS berfungsi seperti yang dijanjikan. Jika implementasi OSS gagal, bisnis dan investasi di Indonesia ada di kondisi yang berbahaya.
Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa menghilangkan tata kerja yang berbelit, atau debirokratisasi, dapat membantu pemerintah menyusun kebijakan yang fokus. Tentu, prosesnya harus benar. Hal ini akan melibatkan pemisahan fungsi tertentu dari kementerian, sehingga mungkin satu kementerian perlu dijadikan dua lembaga atau bahkan lebih.
Namun, debirokratisasi hanya akan terjadi jika kita punya orang yang tepat di tempat yang tepat. Orang itu harus punya kemampuan mengoordinasikan lebih banyak lembaga yang berbeda. Bahkan dengan jumlah kementerian yang ada saat ini saja, debirokratisasi terbukti masih cukup bermasalah.
Apa gunanya memiliki lebih banyak orang jika mereka tidak dapat bekerja sama atau berkoordinasi? Mereka harus bersatu untuk membentuk kebijakan terpadu yang dibutuhkan dalam menjalankan ekonomi. Apakah bisa? Makin mengkhawatirkan, karena ego sektoral telah diidentifikasi sebagai kelemahan pemerintah saat ini.
Yang kita butuhkan saat ini adalah lembaga negara yang dapat memberikan layanan mereka dengan cara yang paling hemat biaya. Pemerintah yang baru pasti setuju jika mereka memang peduli pada ekonomi.
Jika penambahan kementerian hanya memperlambat dan memperpanjang waktu pemrosesan untuk persetujuan atau izin yang diperlukan, pemerintahan berikutnya seharusnya tidak melakukan rencana tersebut.
Ini akan menjadi salah satu cara untuk membuktikan bahwa pemerintah baru berpegang teguh pada janjinya sendiri, yaitu menjadi pihak yang "pro-bisnis".
Meskipun benar adanya, bahwa tidak ada jumlah kementerian yang pasti, yang akan memungkinkan pemerintah tertentu berfungsi secara efektif dan efisien. Tapi, sungguh kita tidak bisa memiliki kabinet yang lebih besar, jika akhirnya akan lebih menyulitkan bisnis dan hidup kita.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.