Negara-negara kaya, meski tidak semuanya, tidak pernah berniat menepati janji-janji mereka.
Beberapa delegasi di konferensi iklim COP29 mencibir dana tahunan senilai $300 miliar dolar Amerika. Dana tersebut dijanjikan kepada negara-negara berkembang untuk membiayai kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim, sambil memberi kesempatan negara-negara tersebut melakukan transisi ke energi yang lebih bersih dan terbarukan. Tidak ada yang menertawakan, tetapi harus diakui, dana sejumlah itu terdengar menggelikan.
Tidak seorang pun berharap bahwa negara-negara kaya, yang paling banyak berkontribusi terhadap perubahan iklim, akan mendonasikan dana sebesar $1,5 triliun yang dibutuhkan negara-negara berkembang untuk menahan agar kenaikan suhu secara global tidak melebihi rata-rata. Bagaimana pun, negara berkembang menjadi yang paling menderita akibat perubahan iklim. Konferensi iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa minggu lalu di Azerbaijan kemudian dipuji oleh banyak orang sebagai sebuah keberhasilan, setelah negosiasi yang panjang dan alot. Dana sebesar $300 miliar artinya tiga kali lebih besar dari komitmen sebelumnya.
Sisi buruknya adalah bahwa negara-negara kaya, meski tidak semua, tidak pernah berniat menepati janji-janji mereka di masa lalu. Hal itu menimbulkan keraguan atas keseriusan mereka dalam menyediakan dana yang lebih besar, seperti yang telah mereka janjikan.
Dan dengan fakta bahwa mulai Januari mendatang Gedung Putih akan dipimpin oleh orang yang skeptis terhadap perubahan iklim, dapat saja kita meragukan Amerika Serikat, sebagai negara dengan tingkat polusi terbesar, akan memenuhi tanggung jawabnya terkait iklim. Kita harus mencari pemimpin lain untuk urusan mengatasi dampak perubahan iklim.
Sementara itu, waktu terus berjalan makin dekat dengan bencana akibat perubahan iklim. Sebagian besar ahli sepakat bahwa 2035 akan jadi tahun kritis bagi dunia. Di tahun itu, negara-negara harus berupaya untuk menghentikan kenaikan suhu global rata-rata agar menjadi kurang dari 1,5 derajat Celsius. Jika lewat dari tenggat waktu tersebut, kondisi pemanasan global akan lepas kendali. Dan 2035 hanya sekitar 10 tahun dari sekarang, bisa jadi hanya ada 10 konferensi COP lagi.
Mendapatkan kata sepakat dari seluruh 195 negara, selalu sulit. Tapi kesepakatan seharusnya bukan hal mustahil, mengingat betapa beratnya masalah ini.
Selain masalah pendanaan, sesungguhnya dunia telah membuat kemajuan di bidang lain terkait perubahan iklim. Salah satunya adalah komitmen negara-negara yang lebih berani soal penghapusan bahan bakar fosil dan menggantinya dengan energi bersih serta terbarukan.
Terkait mekanisme pasar perdagangan karbon, ada kemajuan yang dicapai di Baku. Perdagangan karbon merupakan salah satu cara komersial untuk mengumpulkan dana. Namun, jangan berharap terlalu banyak dari sektor swasta. Mekanisme pasar tidak menciptakan kesetaraan dan keadilan. Pada akhirnya, pendanaan publik dari pemerintahlah yang seharusnya berkontribusi paling besar.
Delegasi Indonesia untuk COP29, yang dipimpin oleh pengusaha Hashim Djojohadikusumo, menuai kritik di dalam negeri. Kritik ditujukan atas pidatonya yang terlalu fokus pada perdagangan karbon dan pembiayaan iklim, tetapi mengabaikan pertanyaan tentang komitmen Indonesia untuk mengurangi pemanasan global.
Aktivis lingkungan semakin resah ketika Indonesia menunda penyampaian laporan terbaru tentang kontribusi yang ditentukan secara nasional (nationally determined contributions atau NDC). NDC berisi ketetapan terkait komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi karbon. Pada 2022, Indonesia berjanji mengurangi emisi sebesar 31,89 persen, yang kemudian dinaikkan menjadi 43,2 persen dengan dukungan internasional. Pemerintah mengatakan bahwa laporan NDC harus ditinjau ulang untuk memasukkan kebijakan dan target pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto. Sedangkan Prabowo baru mulai menjabat pada Oktober.
Tentu saja, ada kekhawatiran bahwa target pertumbuhan ekonomi tahunan Prabowo yang dipatok sebesar 8 persen akan mengorbankan kondisi lingkungan. Kemudian, hal itu mungkin membuat Indonesia memperlambat pemberlakuan NDC, dan bukannya mempercepatnya.
Jadi, sungguh mengejutkan ketika Prabowo mengumumkan komitmen Indonesia untuk mencapai nol emisi gas rumah kaca pada 2050. Ia menyampaikannya pada KTT G20 di Brasil. Tahun 2050 berarti satu dekade lebih awal dari janji Indonesia yang sebelumnya.
Prabowo berencana membangun pembangkit listrik baru dengan kapasitas gabungan sebesar 100 gigawatt (GW) selama 15 tahun ke depan. Dari jumlah tersebut, 75 GW akan berasal dari sumber energi terbarukan, termasuk tenaga angin, tenaga surya, tenaga air, panas bumi, dan tenaga nuklir. Pembangunan tersebut akan menjadikan Indonesia swasembada energi. Ia tegaskan bahwa Indonesia akan dapat mencapai target nol emisi sebelum 2050. Bahkan adik laki-lakinya, Hashim, tak tahu-menahu soal ini, karena jika ia mengetahuinya, ia akan mengumumkannya di Baku.
Pemerintah harus bekerja keras untuk memenuhi janji tersebut. Kita tahu bahwa Prabowo tidak akan bercanda tentang sesuatu seserius perubahan iklim.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.