TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Misi ke Suriah

Demokrasi adalah hal yang paling substansial yang bisa ditawarkan dari Indonesia.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Thu, December 12, 2024 Published on Dec. 11, 2024 Published on 2024-12-11T12:02:35+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Misi ke Suriah Syrians living in Turkey celebrate after Syrian rebels announced that they had ousted President Bashar al-Assad in Syria, in Istanbul, Turkey, on Dec. 8, 2024. (Reuters/Dilara Senkaya)
Read in English

 

Pepatah Indonesia “lepas dari mulut harimau, masuk mulut buaya” atau padanannya dalam bahasa Inggris “out of the frying pan into the fire” mungkin sangat cocok dengan yang dialami 25 juta orang Suriah, setelah pemberontak memaksa presiden Bashar al-Assad turun, lalu melarikan diri pada 8 Desember. Dunia, termasuk Indonesia, harus membantu warga Suriah agar tidak jatuh ke dalam perangkap “buaya” ini.

Selama 53 tahun, Bashar al-Assad dan ayahnya, Hafez, memerintah Suriah dengan tangan besi. Ayah dan anak tersebut menghancurkan ekonomi, membantai jutaan orang tak berdosa, dan membiarkan orang asing mencampuri urusan masalah dalam negeri Suriah. Mereka melakukannya karena itulah cara termudah bagi dinasti yang kejam untuk mempertahankan kekuasaan. Indonesia juga punya pengalaman pahit dengan pemerintah diktator, tetapi negara ini berhasil bangkit.

Indonesia tidak dapat berpartisipasi membantu Suriah di ranah ekonomi. Tetapi, kita tetap punya potensi besar agar dapat berkontribusi secara berarti bagi negara yang gagal tersebut. Negara-negara Arab yang kaya, Uni Eropa, Amerika Serikat, dan organisasi multilateral, serta negara-negara industri lainnya, memiliki sumber daya untuk membantu membangun kembali ekonomi Suriah.

Demokrasi adalah yang bisa diajarkan oleh Indonesia. Kontribusi tersebut tak mungkin dapat diberikan oleh negara Arab mana pun. Buktinya, gerakan transisi menuju demokrasi yang dilakukan negara-negara Arab, dikenal dengan istilah Arab Spring, menjadi gerakan yang kandas. 

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, tetapi bukan negara Islam. Indonesia telah membuktikan bahwa Islam selaras dengan demokrasi, bahkan dalam bentuknya yang paling modern. Terlepas dari kekurangannya, Indonesia sekarang menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah India dan AS.

Ada pandangan bahwa transisi Indonesia dari kediktatoran ke demokrasi yang sepenuhnya maju bukanlah contoh setara bagi negara-negara yang mengalami Arab Spring, termasuk Tunisia dan Mesir. Bagaimana pun, meski ada kesamaan, ternyata perbedaannya juga signifikan. 

Salah satu faktor yang paling jelas dari Indonesia adalah tekad untuk memilih sistem sekuler secara de facto, sejak kemerdekaan. Partai-partai Islam hampir tidak pernah mendominasi politik dalam negeri. Justru partai-partai nasionalis dan sekuler yang memenangkan hampir semua pemilihan umum. Entah menang dengan murni atau hasil kecurangan. 

Dari waktu ke waktu, ada upaya organisasi-organisasi Islam kecil untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Organisasi tersebut, meski kecil, sering kali berisik dan terkadang melakukan kekerasan. Tetap saja, mereka tidak pernah beroleh dukungan luas. Negara Islam tidak pernah terwujud di sini. Ini sangat berbeda dengan situasi yang dihadapi oleh negara-negara Arab.

Mari meminta Presiden Prabowo Subianto untuk membentuk tim khusus yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Sugiono. Tim bertugas mempersiapkan misi yang melibatkan banyak pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil. Ini mungkin akan jadi misi yang hampir mustahil karena situasi di Suriah sangat kompleks, bisa makan waktu pemulihan hingga puluhan tahun.

Namun Indonesia juga punya pengalaman yang baik dalam diplomasi demokrasi. Misalnya, mempromosikan peran perempuan dalam pembangunan Afghanistan, meski kemudian peran tersebut runtuh setelah Taliban mengambil alih pemerintahan pada 2021. Dalam 10 tahun terakhir, Kementerian Luar Negeri, di bawah kepemimpinan Retno LP Marsudi, cukup aktif dalam misi soft-power ke negara-negara Islam.

Kita tidak perlu ceramah panjang lebar, tapi cukup berbagi pengalaman. Kita bisa mengundang mereka ke Indonesia untuk berinteraksi dengan organisasi-organisasi akar rumput, termasuk Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Biar mereka yang memutuskan hasil akhirnya, tetapi setidaknya mereka melihat contoh demokrasi yang baik dari umat Islam di Indonesia.

Gerakan kekuatan rakyat memaksa Soeharto untuk mengakhiri kediktatorannya selama 32 tahun pada Mei 1998. Hanya selang setahun kemudian, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum yang diakui secara internasional.

Sejak 2004, Indonesia telah menyelenggarakan lima pemilihan presiden secara langsung, tanpa masalah yang berarti. Pemenang pemilihan adalah yang berhasil meraih suara terbanyak. Kemudian sejak 2005, negara ini melakukan juga pemilihan kepala daerah secara langsung, di semua tingkatan.

Soeharto membawa ekonomi Indonesia ke ambang jurang. Akibatnya, negara ini menjadi berutang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1997. Namun, kita mampu melunasi semua pinjaman kepada lembaga global itu pada 20

Lihatlah Suriah sekarang. Menurut Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Population Agency atau UNPA), 16,7 juta orang di sana membutuhkan bantuan kemanusiaan. Angka itu merupakan jumlah tertinggi sejak perang saudara meletus pada 2011. Sementara itu, lebih dari 6 juta pengungsi Suriah masih mengungsi di negara-negara tetangga.

Indonesia harus memainkan perannya dalam membantu warga Suriah untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka sepenuhnya, termasuk hak demokrasi. Ini adalah kesempatan yang baik bagi Presiden Prabowo untuk membantu warga Suriah.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.