Pemerintah harus paham bahwa masalah perumahan bukan tentang jumlahnya. Sekadar melipatgandakan target tahunan adanya perumahan baru tidak akan menyelesaikan masalah.
Target baru Presiden Prabowo Subianto untuk membangun 3 juta rumah dalam setahun tidak akan pernah menyelesaikan problem kekurangan perumahan di Indonesia. Hal itu terutama jika pemerintah tidak melakukan apa pun untuk memperbaiki pasar perumahan yang carut marut.
Sebelumnya, pemerintah punya program serupa, yaitu menyediakan setidaknya 1 juta rumah setiap tahun. Rumah tersebut sebagian besar disubsidi, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah. Program ini dimulai pada 2015. Saat itu, terdapat kesenjangan 11,4 juta antara kepemilikan rumah dan permintaan.
Namun, Indonesia masih menghadapi kekurangan 9,9 juta unit pada 2023. Artinya, program 1 juta rumah per tahun gagal memenuhi harapan, meski secara teori, lebih dari 8 juta rumah telah membanjiri pasar dalam dekade terakhir.
Telah dilaporkan bahwa hanya antara 60 dan 80 persen dari unit perumahan baru yang seharusnya terjangkau ini, yang akhirnya ditempati. Sebetulnya, hal itu menyiratkan bahwa dengan alibi apa pun, rumah yang tersedia tidak sesuai. Dalam kasus di Pulau Jawa, alasannya antara lain adalah perumahan yang lokasinya terpencil, tanpa angkutan umum yang memadai serta tidak ada infrastruktur yang layak.
Pemerintah harus paham bahwa masalah perumahan bukan hanya tentang jumlah. Sekadar melipatgandakan target tahunan untuk rumah baru tidak akan cukup.
Seruan pemerintah saat ini agar sektor swasta berperan lebih besar adalah awal yang baik. Langkah baik itu termasuk mengundang semua jenis investor dan pemodal, baik asing maupun domestik. Pasalnya, Kementerian Perumahan Rakyat dan Permukiman yang baru dibentuk hanya mengalokasikan Rp5 triliun ($324,6 juta dolar Amerika) untuk anggaran tahun 2025. Angka itu jauh di bawah yang sebenarnya dibutuhkan, yaitu Rp23 triliun.
Sementara pemerintah sibuk dengan program-programnya, sektor swasta telah melakukan perannya dalam meningkatkan pasokan ke pasar, dalam beberapa tahun terakhir.
Satu-satunya masalah adalah bahwa sebagian besar rumah yang dipasok sektor swasta ditujukan untuk para pembayar pajak berpenghasilan menengah ke atas. Pasar mereka bukan para pembayar pajak berpenghasilan menengah ke bawah, dengan alasan keuntungan bagi pengembang swasta.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI), dalam laporannya pada Juni lalu, menyebutkan bahwa pasar perumahan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke atas mengalami kelebihan pasokan.
Sementara itu, masih menurut data LPEM UI, harga rata-rata rumah di kota-kota besar, termasuk Medan, Surabaya, dan Jakarta, diperkirakan setara 20 kali lipat pendapatan tahunan rata-rata individu di kota-kota tersebut.
Meskipun banyak dari rumah-rumah tersebut yang kini dijual, hanya sedikit orang yang benar-benar mampu membelinya. Tidak mengherankan bahwa di banyak wilayah di Jabodetabek, lebih banyak rumah-rumah ini yang akhirnya dibeli sebagai investasi, dan bukan jatuh ke tangan mereka yang sungguh membutuhkan hunian.
Untuk mengatasi kekacauan ini, diperlukan lebih dari sekadar penyeimbangan peran, atau berbagi kewajiban, antara negara dan sektor swasta.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dapat memulai dengan menegakkan secara serius peraturan tentang "perumahan hunian berimbang". Aturan tersebut menetapkan bahwa untuk setiap pembangunan rumah "mewah" di kota atau kabupaten tertentu, harus ada dua hingga tiga rumah lain berukuran sedang hingga kecil yang dibangun di area yang sama.
Kebijakan ini telah diberlakukan sejak akhir 1990-an, dan telah direvisi berkali-kali. Namun implementasinya masih buruk. Pengembang menuding kenaikan biaya konstruksi dan harga tanah sebagai kambing hitam.
Hal itulah yang perlu ditangani pemerintah, termasuk dengan kebijakan insentif dan dukungan finansial.
Selain itu, pemerintahan Prabowo tidak boleh mengabaikan kebutuhan mendesak akan sarana transportasi massal, yang pembahasannya nyaris selalu absen dilakukan Kementerian Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman. Hashim S. Djojohadikusumo, saudara laki-laki Prabowo sekaligus kepala satuan tugas perumahan, bahkan tidak pernah menyebut hal itu.
Perumahan tidak boleh menyebabkan penduduk tidak punya akses yang tepat ke pusat-pusat ekonomi. Jika rumah tidak bisa digratiskan, maka setidaknya harus dipastikan bahwa mereka yang membutuhkan rumah masih bisa mendapatkan penghasilan yang cukup untuk membeli hunian yang mereka tempati.
Menyediakan tempat tinggal bagi masyarakat adalah tanggung jawab utama pemerintah. Meskipun peran badan usaha swasta sangat penting, pemerintah tidak boleh mengabaikan ketidakseimbangan yang saat ini terjadi di pasar properti.
Tidak salah jika sektor properti ditargetkan tumbuh atau berperan signifikan dalam mendorong PDB negara. Namun, masyarakat harus punya kemampuan membeli rumah yang layak.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.