Prabowo dan Gerindra tidak menghargai kekuasaan legislatif dan eksekutif luar biasa yang dipercayakan rakyat Indonesia kepada mereka.
Sungguh meresahkan melihat perkembangan terakhir di DPR.
Para ahli telah memperingatkan tentang dominasi koalisi partai yang mendukung Presiden Prabowo Subianto, yang menguasai lebih dari separuh kursi di legislatif. Tanpa oposisi yang jelas, koalisi yang dipimpin oleh partai politik Prabowo, Gerindra, mampu bertindak nyaris tanpa perlawanan.
Kasus terbaru adalah perihal revisi aturan internal, yang memungkinkan anggota DPR mengadakan asesmen dan memberhentikan pejabat tinggi yang telah ditunjuk. Pejabat yang dimaksud termasuk para pemimpin dari hampir semua lembaga pemerintah tertinggi di Indonesia, hakim Mahkamah Agung dan hakim Mahkamah Konstitusi, serta para pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Revisi aturan internal tersebut telah membuat khawatir para hakim, kelompok masyarakat sipil, dan bahkan beberapa anggota DPR sendiri. Menurut mereka, hal itu merupakan tindakan yang melampaui kewenangan legislatif, menentang prinsip pemisahan kekuasaan, serta menghilangkan konsep pengawasan dan keseimbangan. Lebih jauh, aturan baru bisa jadi membuka jalan menuju rezim otoriter di bawah pimpinan Prabowo.
Hal itu menimbulkan pertanyaan tentang komitmen Gerindra dan Presiden sendiri, sebagai ketua partai, terhadap demokrasi negara ini. Persetujuan bulat DPR pada perubahan aturan internal tersebut menunjukkan niat partai-partai pro-Prabowo untuk memperluas kekuasaan mereka dan menundukkan lembaga-lembaga lain yang mengawasi Presiden dan badan legislatif.
Paling tidak, Gerindra dan partai politik lainnya telah mengecewakan, atau malah menjadi ancaman bagi negara. Hal ini sangat menyedihkan mengingat para anggota parlemen dan Presiden dinaikkan ke tampuk kekuasaan oleh rakyat, melalui pemilihan umum yang demokratis.
Setelah 100 hari pertamanya memerintah, Prabowo meraih 81 persen tingkat persetujuan publik. Persetujuan publik sebesar itu bahkan tidak dapat dicapai oleh pendahulunya, Joko “Jokowi” Widodo. Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa Presiden telah berjuang keras untuk memajukan program-programnya. Juga di luar fakta bahwa negara masih dalam kesulitan keuangan akibat Presiden terus bersikeras memerintah dengan kabinet yang sangat banyak jumlahnya berikut program makan bergizi gratisnya.
Tidak seperti Jokowi di tahun pertamanya, Prabowo tidak harus menghadapi tantangan dari partai politik lain untuk mendapatkan persetujuan atas program-programnya. Prabowo tidak ada masalah dalam meloloskan revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara yang membuka jalan bagi pembentukan Badan Pengelola Investasi (Investment Authority of Indonesia atau IAI) Danantara. Padahal, lembanga tersebut menuai kritik karena posisinya yang tidak efektif dan ambigu di antara BUMN.
Prabowo dan Gerindra tidak menghargai kekuasaan legislatif dan eksekutif yang sangat besar yang telah dipercayakan rakyat Indonesia kepada mereka.
Tidak ada keadaan darurat yang dapat membenarkan Presiden atau badan legislatif untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar. Mereka memiliki semua kekuasaan dan sumber daya yang mereka butuhkan. Jika mereka gagal memanfaatkan kekuasaan serta sumber daya tersebut sebaik-baiknya, itu akan menjadi kegagalan mereka sendiri.
DPR tidak perlu punya kendali atas pejabat publik tingkat tinggi di negara ini. Perubahan aturan yang dibuat anggota DPR tersebut harus dianggap sebagai pelanggaran terhadap independensi lembaga pemerintah. Publik jadi punya banyak alasan untuk meragukan niat baik DPR.
Sangat mengkhawatirkan jika aturan baru tersebut akan digunakan untuk menyasar pejabat yang dianggap menghalangi tujuan politik Prabowo dan Gerindra.
Sangat mencemaskan juga jika aturan baru tersebut akan digunakan untuk mengintimidasi hakim Mahkamah Konstitusi, yang telah membuat beberapa putusan yang bertentangan dengan kepentingan koalisi yang berkuasa.
Pada Agustus lalu, DPR berupaya membatalkan putusan pengadilan tentang pengajuan calon kepala daerah berdasarkan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Meskipun anggota DPR berhasil mempercepat proses pembahasan undang-undang tersebut, langkah mereka dihentikan oleh protes besar-besaran di seluruh negeri yang mendukung Mahkamah Konstitusi.
Seandainya aturan DPR terbaru tidak dibatalkan, kita punya alasan untuk percaya bahwa DPR akan menarik kembali hakim yang tidak patuh pada keinginan koalisi.
Saat hari itu tiba, kita terpaksa akan mempertanyakan jika Indonesia masih dapat disebut sebagai negara demokrasi.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.