Indonesia, meskipun sejauh ini terhindar dari bidikan beringas Trump, perlu mulai menggalang dukungan dan menata kembali kondisinya, saat dunia memasuki era baru, era kacau balau.
Saat dunia memasuki periode pertama abad ke-21 dengan potensi kekacauan politik, ekonomi, dan militer yang berkepanjangan, Presiden Amerika Serikat Donald Trump kemungkinan akan tercatat dalam sejarah sebagai pemimpin yang memainkan peran utama dalam memicu krisis buatan manusia. Bahkan bisa juga ia memicu perang dunia ketiga.
Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk mencabut larangan penjualan iPhone 16 pada akhir bulan lalu harus dipahami dalam konteks ini.
Dampak pencabutan larangan tersebut akan lebih luas dari yang dibayangkan pemerintah. Hal itu terutama setelah Menteri Keuangan AS Scott Bessent mempertanyakan kebijakan pelarangan tersebut. Di bawah Trump 2.0, AS telah menjadi pemerintahan yang tiran, berlawanan dengan klaimnya sebagai pemimpin demokrasi.
Indonesia melarang penjualan iPhone 16 produksi Apple, setelah perusahaan teknologi AS itu pada Oktober lalu menunjukkan keengganan untuk memenuhi persyaratan wajib tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sebesar 35 persen. Kini, larangan itu dicabut tanpa penjelasan yang kredibel.
Kegilaan AS tampak jelas pada pekan lalu, saat pertemuan bilateral yang kacau antara Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di Ruang Oval. Trump saat itu menyalahkan tamunya karena memulai perang di Ukraina. Padahal, jelas-jelas Rusia yang menginvasi negara itu pada Februari 2022.
Trump juga memperingatkan bahwa Zelensky "menanggung risiko terjadinya perang dunia ketiga" karena menolak rencananya untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina.
Sesungguhnya Trump memang mengantisipasi perang dunia ketiga selama kampanye presidennya tahun lalu. Hal itu tercermin dari perkataannya bahwa AS akan muncul sebagai pemenang dari konflik semacam itu. Ia mengabaikan pengaruh negaranya yang memudar secara global.
Pada saat yang sama, bintang negeri Tiongkok sedang bersinar. Negara itu siap menantang hegemoni AS di hampir segala bidang, mulai dari ekonomi dan militer hingga teknologi.
Trump tidak pernah menyembunyikan ambisinya untuk menghentikan kebangkitan China. Tetapi strateginya untuk menahan China tidak akan berjalan sesuai yang ia harapkan.
Ia berpura-pura tidak sadar bahwa ia tidak akan pernah bisa mengalahkan China sendirian, tanpa kerja sama dengan sekutu AS dan mitra strategis utama. Dan saat ini, ia dengan cepat kehilangan kepercayaan mereka, karena ia terus mengancam dan menggertak, bahkan terhadap sekutu terdekat AS, termasuk NATO.
Trump juga menjalin hubungan baik dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, dalam upaya untuk mencoba menjauhkan Rusia dari China. Namun, kehilangan hubungan dengan China adalah hal terakhir yang diinginkan Putin, karena Rusia sangat bergantung pada ekonomi China.
Negara-negara di belahan dunia ini, termasuk negara-negara ASEAN, tidak punya banyak pilihan selain lebih bergantung pada Beijing dan bukan pada Washington.
Prabowo merasa punya kedekatan yang kuat dengan Trump, jadi ia mungkin percaya AS akan membebaskan Indonesia dari kebijakan transaksional dan kepentingan pribadinya. Yang perlu ia waspadai adalah bahwa Indonesia dapat menjadi mangsa empuk dari agitasi Trump, jika kita tidak siap menghadapi ketidakpastian global. Dan hal itu akan terus berlanjut selama Trump tetap berada di Gedung Putih.
Pada September lalu, satu bulan sebelum memangku jabatan sebagai presiden kedelapan Indonesia, Prabowo memperingatkan kemungkinan terjadinya konflik global ketiga. Menurutnya, hal itu akan terjadi jika negara-negara gagal menahan diri di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik.
Saat itu, surat kabar ini mengutip pernyataannya yang menekankan tantangan signifikan yang dihadapi dunia, termasuk potensi perang nuklir. Tantangan itu dapat berdampak pada Indonesia, meskipun negara ini tidak terlibat. Dalam berbagai forum di dalam dan luar negeri, Prabowo telah berulang kali menegaskan kembali kebijakan nonblok Indonesia yang telah berlangsung lama. Ia ungkapkan hal itu di tengah ketidakpastian yang menimpa dunia akibat persaingan negara-negara besar.
Namun, penting untuk mengakui bahwa sikap kebijakan luar negeri yang selama ini diambil Indonesia, yaitu "bebas dan aktif", mungkin tidak cukup untuk meredakan kekacauan global yang meluas. Hal tersebut makin jelas, khususnya mengingat iklim geopolitik saat ini, yang sama sekali tidak mirip dengan kondisi penyebab peristiwa dahsyat Perang Dunia I dan II di masa lalu.
Presiden Prabowo perlu pendekatan yang lebih strategis dalam menghadapi Trump. Hal itu termasuk dengan menahan diri untuk tidak bersuara lantang di kelompok yang dianggap anti-AS oleh Washington, seperti BRICS. Prabowo juga harus membentuk tim yang solid untuk menghadapi AS.
Seperti juga negara-negara lain, Indonesia harus bersiap menghadapi tatanan dunia baru, yaitu yang kacau balau.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.