Tempo hari ketika menulis mengenai gencatan senjata di Gaza yang kami anggap kurang kuat, kami sempat mempertanyakan berapa lama gencatan senjata itu akan berlangsung. Pertanyaan itu telah terjawab, jadi kami putuskan melanjutkan tulisan kami.
Dunia harus segera mengakhiri perang yang menghancurkan Gaza. Apa pun alasan yang melatari pertumpahan darah tak henti-hentinya ini, sudah sejak dulu tak ada pembenaran yang dapat dipertahankan.
Dilaporkan bahwa gelombang serangan udara terbaru Israel telah menewaskan lebih dari 400 orang. Dari jumlah itu, 174 di antaranya adalah anak-anak. Gelombang serangan udara langsung mengakhiri gencatan senjata.
Angka-angka terbaru menambah jumlah korban yang mengerikan sepanjang 17 bulan terakhir. Perkiraan umum menyebutkan bahwa jumlah korban tewas warga Palestina sudah lebih dari 47.000. Perkiraan lain, termasuk yang dirilis The Lancet, menyebut bahwa lebih dari 64.000 orang telah tewas.
Sampai kapan siklus berdarah ini dibiarkan berlanjut? Jika tujuan sesungguhnya adalah perdamaian, masyarakat internasional harus turun tangan.
Kita telah mencoba menahan diri, mundur dan membiarkan para bangsa Semit menyelesaikan pertikaian mereka sendiri, perseteruan yang telah berlangsung selama berabad-abad itu. Kita telah meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menjadi penengah perdamaian, tetapi tingkat keberhasilannya kecil. Bahkan upaya tak kenal lelah dari para duta besar yang beritikad baik dan negosiator profesional pun terbukti tidak memadai.
Setiap upaya, berulang kali, telah digagalkan oleh kurangnya kemauan politik dari pihak-pihak yang berseteru. Atau, upaya itu tumbang karena prioritas balas dendam atas keadilan.
Jika ada satu pelajaran nyata dari kejadian beberapa bulan terakhir, adalah bahwa mediasi eksternal bukan lagi pilihan, tapi sudah jadi keharusan.
Ikatan solidaritas dan tanggung jawab bersama yang ditempa di era pascakolonial kini menghadapi tantangan. Dunia harus menunjukkan bahwa kepercayaan pada solidaritas masih punya kekuatan. Harus dibuktikan bahwa kemarahan kolektif dapat disalurkan menjadi sesuatu yang berarti.
Indonesia, negara yang telah lama dihormati karena dukungan penuh prinsip pada negara Palestina, dapat dan harus menjadi bagian dari aksi respons ini.
Presiden Prabowo Subianto kini memimpin militer yang cakupan operasinya telah diperluas oleh revisi terbaru Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Perluasan wewenang TNI memberi kesempatan langka bagi Indonesia untuk berkontribusi tidak hanya secara politik, tetapi juga secara langsung, melalui pasukan penjaga perdamaian. Kami sangat mendorong pemerintah untuk mempersiapkan kontingen penjaga perdamaian Indonesia terbesar. Pasukan itu harus siap bertugas di Timur Tengah, di bawah mandat internasional yang kredibel.
Penugasan sebagai penjaga perdamaian akan memberikan peran produktif bagi militer Indonesia yang anggotanya banyak. Baru-baru ini, jumlah anggota TNI yang besar itu dikritik, karena kurang dimanfaatkan.
Meski demikian, pengerahan pasukan harus menjadi bagian dari strategi yang lebih luas dan koheren menuju perdamaian yang adil dan langgeng.
Pertama dan terutama, harus ada jaminan internasional untuk mencegah Israel merebut Gaza secara langsung tanpa kehadiran Hamas.
Penarikan satu pihak yang bertikai tidak dapat menjadi dalih untuk aneksasi. Indonesia harus bekerja sama dengan negara-negara yang berpikiran sama untuk memastikan bahwa setiap transisi diawasi, inklusif, dan ditujukan untuk memulihkan pemerintahan yang sah, idealnya melalui front Palestina yang bersatu.
Untuk tujuan tersebut, seruan terbaru Fatah kepada Hamas, agar melepaskan kendali eksklusifnya atas Gaza dan mendukung pemerintahan yang bersatu di bawah Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organization atau PLO) menjadi langkah pembuka yang sangat penting.
Indonesia harus mendukung seruan ini secara terbuka dan sungguh-sungguh. Hanya pemerintahan Palestina bersatu yang dapat bernegosiasi dengan kuat dan jelas. Kita harus mendukung diplomasi yang menyatukan orang Palestina, dan bukannya semakin memecah belah mereka.
Menjelang peringatan besar Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung, Jawa Barat, sudah sepantasnya Indonesia menegaskan kembali komitmen mendasar negara ini pada hak merdeka menentukan nasib sendiri, dekolonisasi, dan perdamaian.
Palestina menjadi salah satu negara pascakolonial terakhir yang masih diduduki. Perjuangan untuk membebaskannya tidak boleh diserahkan kepada pihak-pihak yang bertikai saja. Sudah saatnya dunia turun tangan; tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata. Dan Indonesia harus menjadi yang pertama merespons.
Kami percaya bahwa Palestina dan Israel sama-sama berhak mendapatkan kedamaian. Mereka harus dapat melanjutkan hidup.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.