Pada titik ini, bahkan mengangkat seseorang dari militer yang dipercayai Prabowo tampak lebih baik, daripada membiarkan ada posisi strategis yang kosong selama beberapa bulan ke depan.
Hampir enam bulan masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, jabatan duta besar Indonesia di Washington, DC, masih kosong. Absennya dubes RI yang berkepanjangan ini sampai di titik kritis. Pasalnya, Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump telah mengenakan tarif sebesar 32 persen pada barang-barang dari Indonesia, yang berlaku mulai Rabu 9 April.
Tidak hadirnya diplomat RI di ibu kota AS menghambat kemampuan Indonesia untuksecara efektif terkoneksi dengan para pemangku kepentingan utama dan mengadvokasi kepentingan ekonomi negara ini. Ironis, karena AS adalah salah satu dari sedikit negara yang telah menandatangani kemitraan strategis komprehensif dengan Indonesia.
Pada Januari lalu, media ini menggarisbawahi betapa mendesaknya penunjukan utusan untuk ditempatkan di Washington, agar memberi sinyal positif adanya komitmen Indonesia untuk memperkuat hubungan bilateral dengan AS. Sayangnya, nasihat ini tidak diindahkan. Akibatnya, Indonesia tidak memiliki perwakilan, yang sesungguhnya perlu hadir selama terjadi eskalasi ketegangan di bidang perdagangan.
Ketidakhadiran duta besar mengirimkan pesan yang tidak diinginkan tentang ambivalensi. Hal itu berpotensi merusak aspirasi Presiden Prabowo untuk mengadakan pertemuan tingkat tinggi dengan Presiden Trump.
Saat ini, skenario yang ada menempatkan Indonesia pada posisi yang sangat tidak menguntungkan, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Negara-negara seperti Singapura dan Vietnam telah secara proaktif melibatkan lembaga-lembaga khusus untuk melobi anggota Kongres AS, juga mendekati kantor-kantor administratif AS. Sebaliknya, ketergantungan Indonesia pada koneksi yang sudah ketinggalan zaman, yang banyak di antaranya telah berkurang pengaruhnya dalam lanskap politik AS saat ini, membuat negara kita tidak siap untuk menavigasi kompleksitas koridor kekuatan Washington.
Beberapa pejabat telah meremehkan situasi genting akibat kekosongan duta besar. Mereka berpendapat bahwa hal itu berdampak minimal pada upaya-upaya diplomatik yang sedang berlangsung. Namun, pendapat itu semakin hari semakin tidak dapat dipertahankan.
Kekosongan posisi duta besar yang bertepatan dengan gagalnya upaya-upaya untuk menjadwalkan pertemuan antara Prabowo dan Trump, menekankan betapa pentingnya punya utusan khusus untuk memfasilitasi langkah-langkah pendekatan dengan Presiden AS.
Pengangkatan 31 duta besar baru oleh Presiden Prabowo baru-baru ini, meskipun merupakan langkah untuk memperkuat kehadiran diplomatik Indonesia di lanskap global, secara khusus tidak menempatkan siapa pun di Washington. Pengecualian ini membingungkan, terutama mengingat adanya kebutuhan mendesak akan perwakilan negara yang kuat, di tengah meningkatnya sengketa perdagangan.
Pentingnya punya duta besar semakin terasa ketika akhirnya ada delegasi tingkat tinggi yang direncanakan akan dikirim ke Washington. Delegasi itu dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, dengan tujuan menegosiasikan persyaratan perdagangan yang lebih menguntungkan bagi Indonesia.
Menteri Investasi Rosan P. Roeslani memang disertakan dalam delegasi. Kemungkinan, kehadiran Rosan yang dulu menjabat utusan Indonesia untuk AS, duta besar terakhir sebelum posisi itu lowong hingga kini, dapat memberi gambaran soal kesinambungan. Namun, tanggung jawabnya yang juga besar di tempat lain menegaskan perlunya ada sosok yang menggantikan Rosan secara permanen, untuk memastikan keterlibatan yang berkelanjutan dan tindak lanjut dari perjanjian yang kelak dinegosiasikan.
Bahkan seorang charges d’affaires, atau pejabat pengganti duta besar, yang paling kompeten pun tidak akan punya akses yang sama ke pemerintah AS, untuk membicarakan topik-topik yang harus segera dibereskan. Segera setelah delegasi tingkat tinggi kembali ke Indonesia, akses pun tertutup lagi.
Dengan asumsi bahwa proses penunjukan akhirnya dipercepat, konfirmasi dan penempatan duta besar baru bisa makan waktu beberapa bulan. Lamanya proses adalah sebuah kemewahan yang tidak dimiliki Indonesia di tengah iklim perdagangan saat ini.
Waktu menjadi hal terpenting. Beberapa pejabat AS telah menunjukkan kesediaan untuk segera terlibat dalam diskusi demi mengatasi masalah tarif.
Calon potensial untuk peran duta besar sudah tersedia. Di antara mereka, ada tokoh-tokoh berpengalaman. Ada nama-nama seperti mantan menteri perdagangan Gita Wirjawan dan Muhammad Lutfi. Ada juga anak didik Rosan, Pandu Sjahrir. Presiden Prabowo harus menunjukkan kepemimpinan yang tegas dalam mencalonkan kandidat yang dapat dengan cekatan menavigasi kompleksitas hubungan AS dengan Indonesia, sekaligus mengadvokasi kepentingan Indonesia secara efektif.
Pada titik ini, bahkan mengangkat seseorang dari militer yang dipercayai Prabowo tampak lebih baik, daripada membiarkan ada posisi strategis yang kosong selama beberapa bulan ke depan.
Kekosongan jabatan duta besar Indonesia yang berkepanjangan merupakan kelalaian signifikan yang merusak tujuan diplomatik dan ekonomi negara.
Presiden Prabowo harus memprioritaskan penunjukan utusan yang memenuhi kualifikasi. Ia harus segera memastikan bahwa suara Indonesia didengar dan kepentingan negara terwakili dengan kuat di AS.
Kegagalan untuk memilih sosok yang tepat berisiko menempatkan Indonesia hanya di tepi meja dalam perundingan perdagangan internasional, yang sudah pasti merugikan masa depan ekonomi negara.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.