Saat ini, ketika dunia bergulat dengan bangkitnya proteksionisme serta runtuhnya multilateralisme, prinsip-prinsip Bandung menjadi lebih relevan ketimbang sebelumnya.
Tujuh puluh tahun yang lalu, Indonesia berdiri di garis depan saat momen bersejarah di Bandung, Jawa Barat. Di kota itu, para pemimpin dari Asia dan Afrika berkumpul untuk membentuk jalan solidaritas, menjadi negara mandiri yang menentukan nasib sendiri, dan melawan kolonialisme.
Semangat Bandung, yang lahir dari konferensi Asia Afrika itu, menjadi mercusuar bagi Global Selatan yang lahir kemudian. Semangat Bandung mengadvokasi tatanan dunia yang berakar pada kesetaraan dan rasa saling menghormati.
Saat ini, ketika dunia bergulat dengan bangkitnya proteksionisme serta runtuhnya multilateralisme, prinsip-prinsip Bandung menjadi lebih relevan lagi.
Baru-baru ini, ketegangan perdagangan meningkat, ditandai dengan pengenaan tarif besar-besaran oleh Amerika Serikat, lalu ada juga hambatan nontarif dari tempat lain. Hal itu telah memengaruhi negara-negara berkembang, baik pengaruh besar maupun kecil, yang memperburuk kerentanan ekonomi, dan merusak kerja sama global.
Dalam konteks ini, peringatan 70 tahun Konferensi Asia-Afrika menghadirkan kesempatan istimewa bagi Indonesia untuk menegaskan kembali komitmennya terhadap prinsip-prinsip Bandung. Indonesia juga dapat memimpin gerakan baru untuk membentuk persatuan di antara negara-negara berkembang.
Namun, peringatan yang tidak terlalu meriah atas tonggak sejarah ini menimbulkan kecemasan terkait sikap Indonesia saat ini. Peran Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan negara-negara Global South patut dipertanyakan.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, saat menghadapi tantangan domestik dan internasional yang kompleks, melewatkan momen penting untuk menegaskan kepemimpinan Indonesia di panggung global.
Tidak adanya inisiatif kuat untuk memperingati Konferensi Asia-Afrika Bandung, dan untuk terlibat dengan negara-negara berkembang lainnya, mencerminkan bahwa negara ini telah menyimpang dari diplomasi proaktif yang pernah menjadi pedoman kebijakan luar negeri Indonesia.
Keengganan ini mengkhawatirkan, mengingat iklim global sekarang. Pemberlakuan tindakan perdagangan secara sepihak telah mengganggu rantai pasokan dan menambah ketidakpastian ekonomi. Hal itu berpengaruh pada negara-negara di Global South, meski besar kecilnya dampak bervariasi. Negara-negara berkembang menghadapi naiknya biaya pinjaman, volatilitas mata uang, dan kurangnya akses ke pasar-pasar penting untuk menjaga pertahanan ekonomi mereka.
Sebaliknya, negara-negara lain telah memanfaatkan momen ini untuk mengadvokasi tatanan global yang lebih adil. Tiongkok, misalnya, telah memposisikan diri sebagai pembela multilateralisme. Negara itu menyerukan kerja sama yang lebih luas di antara negara-negara berkembang untuk melawan kebijakan proteksionis.
Demikian pula Brasil, yang telah menekankan pentingnya memperkuat aliansi di negara-negara berkembang. Aliansi diperlukan untuk menavigasi tantangan yang ditimbulkan oleh dinamika global yang terus berubah.
Akan menjadi langkah cerdas untuk mengumpulkan lagi para pemimpin negara-negara berkembang di Indonesia, demi mendukung tatanan dunia multipolar dan global. Apalagi karena beberapa pialang kekuasaan besar telah menjelajahi wilayah kita untuk melakukan hal itu.
Warisan sejarah dan posisi strategis Indonesia akan secara unik memenuhi syarat untuk memimpin upaya tersebut.
Semangat Bandung bukan sekadar peninggalan masa lalu. Lebih jauh, hal itu menjadi kerangka kerja yang dapat memandu kita mengatasi tantangan masa kini. Masalah kolektif kita mungkin bukan lagi berbentuk gerakan kolonialisme seperti di masa lalu, tetapi prinsip-prinsip yang muncul dari Konferensi Asia Afrika tetap relevan, bahkan hingga saat ini.
Dengan menghidupkan kembali komitmen terhadap prinsip-prinsip ini, Indonesia dapat memainkan peran penting dalam membina solidaritas di antara negara-negara berkembang serta mengadvokasi sistem internasional yang lebih inklusif dan adil.
Pemerintahan saat ini harus mengakui bahwa kepemimpinan perlu lebih dari sekadar tata kelola dalam negeri; kepemimpinan perlu keterlibatan aktif dalam membentuk wacana global. Kita perlu melangkah lebih dari sekadar bergabung dengan BRICS, demi menjaga posisi kita dalam kelompok, sehingga negara-negara lain dapat berbicara mewakili kita, jika dibutuhkan.
Menyegarkan kembali Semangat Bandung melalui tindakan yang lebih konkret akan menegaskan kembali dedikasi Indonesia terhadap cita-cita yang perwujudannya pernah disokong oleh negara. Kita bisa menyelenggarakan forum internasional, mengusulkan inisiatif ekonomi kolaboratif, dan memperjuangkan hak-hak negara-negara berkembang di lembaga-lembaga global.
Di era yang ditandai oleh fragmentasi dan ketidakpastian, dunia meletakkan harapan pada negara-negara dengan sejarah kepemimpinan yang punya prinsip, untuk memetakan arah ke depan.
Indonesia punya peluang, sekaligus tanggung jawab, untuk menampilkan diri dalam kesempatan ini. Membentuk masa depan yang lebih adil bagi Global South adalah bentuk penghormatan pada sejarah Indonesia.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.