Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsGaya komunikasi Presiden Prabowo, meski menjadi bagian penting dari pencitraan nasionalisnya, mencerminkan populisme. Sikap itu cenderung memecah belah masyarakat antara "rakyat" dan "pihak lain". Sering kali ada yang membingkai “pihak lain” sebagai musuh bersama yang mengancam bangsa.
Tahun lalu, hanya sebulan setelah menang pemilihan presiden, dalam sebuah forum bisnis, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan sesuatu tentang demokrasi negara ini. Menurutnya, demokrasi Indonesia "sangat melelahkan, sangat berantakan, dan mahal biayanya." Ia mungkin hanya mengungkapkan rasa frustrasinya, mengingat perjalanan selama 15 tahun dalam mencapai jabatan tertinggi. Tetapi, apa pun itu, tujuh bulan setelah ia menjabat sebagai presiden, ruang bagi masyarakat sipil terus menyempit.
Penekanan pemerintahan Prabowo pada persatuan dan stabilitas nasional, yang tercermin dalam koalisinya yang besar dan kabinet yang makin banyak anggotanya, tampaknya merupakan strategi konsolidasi kekuasaan. Pendekatan ini seperti menolak perbedaan pendapat, mengelak dari pengawasan publik, dan memusuhi segala bentuk pertanyaan terhadap kebijakan pemerintah.
Reaksi negatif terhadap kritik terlihat dengan, antara lain, penggunaan ungkapan kasar Bahasa Jawa "ndhasmu" oleh Prabowo, dalam sebuah acara Partai Gerindra. Kemudian, tanggapannya terhadap aksi polisi menangkap seorang mahasiswa gara-gara meme yang "menyinggung". Lalu yang terbaru, Prabowo menuduh ada entitas asing yang mendanai organisasi masyarakat sipil untuk menciptakan perpecahan.
“Dengan uang, [entitas asing] mendanai LSM untuk mengadu domba kita,” kata Prabowo saat memperingati Hari Pancasila pada 2 Juni lalu. “Mereka mengklaim menegakkan demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan pers. Tapi, [nilai-nilai] itu hanyalah versi mereka sendiri.”
Serangan terhadap kredibilitas LSM seperti itu merupakan taktik umum di negara-negara yang sedang merosot kondisi demokrasinya, atau yang sikap demokratisnya dibajak oleh oligarki demi mendapatkan legitimasi. Di beberapa negara dalam kondisi tersebut, para penguasa memberlakukan undang-undang untuk membatasi kemampuan operasional masyarakat sipil secara independen, lalu memberi pemerintah wewenang luas untuk mengendalikan pendanaan dan kegiatan mereka. Bahkan undang-undang tentang "agen asing" telah diberlakukan demi menstigmatisasi dan meminggirkan LSM.
Ini bukan pertama kalinya Prabowo menunjukkan kecurigaan, jika tidak boleh disebut kebencian, terhadap apa yang disebut Oliver, Marwell, dan Teixeira sebagai "massa yang kritis". Pada Februari lalu, ia memperingatkan publik tentang "antek-antek asing" yang menurutnya digunakan oleh aktor asing dalam membentuk opini publik. Kata “antek asing” mengacu pada LSM dan media.
Gaya komunikasi Presiden Prabowo, meskipun merupakan bagian penting dari pencitraan nasionalisnya, mencerminkan populisme. Sikap tersebut cenderung memecah belah masyarakat antara "rakyat" dan "pihak lain". Dan yang disebut sebagai “pihak lain” sering dibingkai sebagai musuh bersama yang mengancam bangsa.
Bahkan, sejak pemilu 2014, Prabowo secara konsisten mengadopsi gaya komunikasi populis yang berakar pada narasi krisis dan penciptaan musuh bersama. Salah satu narasi utamanya adalah "kebocoran kekayaan nasional". Narasi itu menyiratkan bahwa kekayaan dan sumber daya alam Indonesia mengalir ke luar negeri karena kelalaian atau kelemahan elit domestik. Dalam logika populisme, krisis ini terkait dengan dua “musuh”, yaitu pihak asing yang dituduh merampok kekayaan Indonesia dan elit lokal yang dianggap lemah atau mudah berkompromi.
Pidato Prabowo di Hari Pancasila berpotensi membingkai LSM sebagai “musuh” negara. Hal itu terlepas dari kenyataan bahwa banyak dari mereka, termasuk yang didanai asing, telah lama memainkan peran penting sebagai pengawas publik sekaligus agen transformasi. Mereka mungkin mengkritik program pemerintah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi deliberatif. Tapi, mereka juga mengisi kekosongan di bidang-bidang yang gagal dilakukan pemerintah, misalnya, dalam pengentasan kemiskinan, mengatasi masalah lingkungan, memajukan pendidikan, menangani urusan sosial, serta mempromosikan kesehatan.
Kelompok masyarakat sipil, serta mahasiswa dan kelas menengah yang sebelumnya diam, ikut serta dalam demonstrasi yang menandai beberapa bulan awal-awal masa jabatan Presiden Prabowo. Mereka memprotes kebijakan kontroversial, terutama revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Revisi undang-undang tersebut memungkinkan perwira aktif untuk memegang lebih banyak jabatan sipil. Mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil mengajukan 10 permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Hasilnya, lima di antaranya ditolak.
Suara-suara yang mereka ciptakan dalam aktivisme mereka mungkin dilihat sebagai tantangan langsung, tidak hanya terhadap peringkat persetujuan pada Prabowo yang tinggi, tetapi juga terhadap otoritasnya. Namun, ketakutan tersebut tidak berdasar mengingat legitimasi pemerintah saat ini merupakan hasil dari pemilihan yang demokratis.
Dalam demokrasi, LSM adalah mitra kemajuan, dan bukan pesaing. Peran mereka dalam memberi umpan balik kritis, sebagai upaya "checks and balances", seharusnya dihargai sebagai mekanisme untuk mencegah korupsi, melindungi hak asasi manusia, dan menciptakan kebijakan yang lebih efektif serta berkeadilan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.