Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsIndonesia masih harus menghadapi tantangan berat untuk dapat lolos ke Piala Dunia. Muncul pertanyaan: apakah tidak terlalu dini memberi penghargaan pada tim nasional?
Tidak dapat disangkal bahwa sepak bola adalah olahraga yang paling populer dan didukung penuh di negara ini. Sepak bola mampu membangkitkan kebanggaan nasional yang tiada duanya, dengan emosi yang memuncak setiap kali tim nasional Garuda berlaga di lapangan.
Patriotisme dan kesetiaan yang tak tergoyahkan terlihat jelas, terutama saat tim nasional putra bertanding. Namun, meskipun tingkat dukungan ini mengagumkan, penting untuk memastikan bahwa antusiasme seperti itu terhadap satu cabang olahraga tidak lalu menutupi ketidakadilan. Semua cabang olahraga harus diperlakukan secara adil.
Selama dua minggu terakhir, seluruh pandangan mengarah pada upaya Indonesia untuk mendapat tempat di Piala Dunia FIFA 2026. Capaian itu akan menjadi sejarah.
Pada 5 Juni, tim Garuda putra mencatat kemenangan dramatis 1-0 atas Tiongkok, dalam pertandingan kualifikasi putaran ketiga AFC yang krusial. Sang penyerang, Ole Romeny, pemain kelahiran Belanda keturunan Indonesia, mencetak gol penalti di waktu laga tambahan babak pertama. Gol itu membuat Stadion Gelora Bung Karno yang penuh sesak, juga penonton di seluruh negeri, bersorak kegirangan.
Hasil tersebut mengukuhkan posisi Indonesia di babak kualifikasi putaran keempat, yang semakin mendekatkan tim nasional pada impiannya untuk tampil di Piala Dunia. Itu adalah momen penting, mengingat partisipasi Indonesia di putaran final hanya terjadi pada 1938, saat berkompetisi sebagai Hindia Belanda.
Bergabung dengan sorak sorai penuh semangat perayaan, Presiden Prabowo Subianto menyelenggarakan acara makan siang di kediamannya. Acara itu mengundang anggota dan kepala pelatih tim nasional Patrick Kluivert. Acara berlangsung hangat dan berjalan lancar. Tapi, yang menjadi berita utama adalah hadiah dari Presiden untuk setiap pemain. Secara pribadi, Prabowo memberikan jam tangan Rolex senilai ratusan juta rupiah.
Meskipun banyak yang menganggapnya sebagai tanda kemurahan hati, hadiah tersebut segera memicu kontroversi.
Pertama, hadiah yang luar biasa itu datang saat Indonesia menghadapi tekanan ekonomi. Bahkan pemerintah fokus pada kehati-hatian fiskal di tengah ketidakpastian global. Prabowo sendiri telah memberlakukan langkah-langkah penghematan, yang menyebabkan kementerian dan lembaga pemerintah memangkas anggaran.
Kedua, tujuan utama tim sepak bola nasional, yang mengandalkan pemain naturalisasi, belum tercapai. Indonesia masih menghadapi tantangan berat untuk dapat lolos ke Piala Dunia. Muncul pertanyaan terkait hadiah yang diberikan, apakah tidak terlalu dini, setelah tim nasional kalah telak 6-0 dari Jepang pada 10 Juni. Meskipun kekalahan itu tidak memengaruhi kualifikasi untuk tahap berikutnya, kekalahan itu menjadi pengingat nyata tentang kesenjangan dalam kompetisi yang harus dihadapi Indonesia.
Pada babak playoff keempat yang dijadwalkan pada Oktober mendatang, Indonesia akan menghadapi lawan tangguh dari Arab Saudi, Qatar, Irak, Uni Emirat Arab, dan Oman. Hanya tersedia dua slot di Piala Dunia. FIFA telah menunjuk Arab Saudi dan Qatar sebagai tuan rumah pertandingan playoff, sehingga dalam hal perebutan posisi di Piala Dunia, dua negara itu otomatis lebih unggul.
Terakhir, jam tangan mewah tersebut telah memicu kecemasan, terkait keadilan dalam cara negara mengakui prestasi atlet. Indonesia telah lama menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam olahraga selain sepak bola. Cabang olahraga seperti bulu tangkis, angkat beban, wushu, dan panjat tebing secara konsisten telah menghasilkan juara dunia dan menang di Olimpiade.
Atlet seperti Tontowi Ahmad, Liliyana Natsir, Rahmat Erwin Abdullah, Lindswell Kwok, dan Veddriq Leonardo telah membawa kebanggaan internasional yang luar biasa bagi Indonesia. Namun, mereka biasanya baru menerima penghargaan yang layak setelah memenangkan medali di level tertinggi.
Ketimpangan ini semakin kentara ketika Kementerian Pemuda dan Olahraga membubarkan pelatihan nasional atlet wushu junior, setelah cabang olahraga tersebut dicoret dari Asian Youth Games 2025.
Menteri Olahraga Dito Ariotedjo mengklarifikasi bahwa para atlet muda cabang wushu sekarang akan fokus untuk Olimpic Youth Games tahun depan. Di Instagram-nya, mantan juara dunia wushu Lindswell mempertanyakan keadilan dari pemerintah. Lindswell mengatakan, “Tentu saja, [saya] bangga dengan prestasi rekan-rekan atlet. Tetapi apakah pemerintah sudah adil dalam mendukung para atletnya?”
Lindswell juga menyoroti kesenjangan anggaran. Ia mencatat bahwa program pengembangan sepak bola tahun ini menerima Rp200 miliar (US$12,28 juta). Sementara federasi olahraga lainnya hanya menerima antara Rp10 miliar hingga Rp30 miliar.
Pada intinya, olahraga adalah tentang persaingan yang adil dan rasa saling menghormati. Meskipun popularitas dapat memicu kebanggaan nasional, prestasi olahraga sejati, terlepas dari apa pun cabang olahraganya, layak mendapat pengakuan dan dukungan yang setara.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.