Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsSetelah tragedi Rinjani, banyak pendaki mengkritisi sistem pariwisata Indonesia karena lebih mengutamakan kepentingan komersial daripada keselamatan pengunjungnya.
Standar keselamatan industri pariwisata Indonesia mendapat sorotan internasional yang ketat setelah kematian tragis turis Brasil Juliana De Souza Pereira Marins.
Pada 21 Juni, Marins, 27 tahun, jatuh saat mendaki Gunung Rinjani, yang terletak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Rinjani adalah gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia. Jasad Marins ditemukan empat hari kemudian, di jurang sedalam sekitar 600 meter di dekat Cemara Nunggal. Wilayah itu adalah jalan setapak sempit dan berbahaya di dekat puncak.
Rekaman awal dari drone, yang diambil tak lama setelah Marins jatuh, menunjukkan bahwa dia duduk tegak di tengah lereng sedalam 200 meter. Rekaman itu menunjukkan dia masih hidup, selamat dari benturan awal. Namun, ketika malam itu tim penyelamat tiba di lokasi kejadian, dia tidak bisa ditemukan di mana-mana.
Otopsi yang dilakukan di sebuah rumah sakit di Bali pada 26 Juni menyimpulkan bahwa Marins meninggal karena kerusakan organ dalam dan pendarahan yang disebabkan oleh cedera yang dideritanya saat terjatuh. Ia diyakini meninggal dalam waktu 20 menit setelah terperosok untuk kedua kalinya, masuk ke jurang yang lebih dalam.
Meskipun tim SAR telah berupaya keras sejak hari pertama, kemarahan publik tetap tidak mereda. Padahal tim penyelamat telah melewati medan yang berbahaya dan cuaca yang tidak dapat diprediksi, yang membahayakan nyawa mereka sendiri. Banyak warga Brasil menggunakan media sosial untuk mengutuk apa yang mereka lihat sebagai sistem penyelamatan yang tidak memadai, yang dilakukan Indonesia. Mereka bersikeras bahwa Marins tidak meninggal hanya karena terjatuh, tetapi karena kelalaian.
Baru-baru ini, pemerintah Brasil telah mengisyaratkan niatnya untuk melakukan tindakan hukum internasional atas kasus tersebut. Mereka secara resmi meminta Inspektur Polisi Federal di Rio de Janeiro untuk menyelidiki kemungkinan adanya kelalaian yang dilakukan pihak berwenang Indonesia.
Kita tidak dapat menyangkal bahwa sentimen tersebut ada benarnya. Nyawa Marins mungkin dapat diselamatkan jika bantuan datang lebih awal. Hal ini ditegaskan oleh Abdul Haris Agam, yang biasa disapa Agam Rinjani. Ia adalah operator tur berpengalaman sekaligus relawan, yang berperan penting dalam mengevakuasi jenazah Marins. Sejak berhasil mengangkat jenazah Marins, ia dipuji sebagai pahlawan oleh banyak warga Brasil.
Setelah ikut serta dalam berbagai upaya evakuasi di gunung setinggi 3.726 meter itu, Agam mengatakan bahwa penyelamatan Marins seharusnya dapat dilakukan segera setelah ia terjatuh, jika peralatan penting, termasuk tali, tersedia di titik-titik kritis di sepanjang jalur pendakian. Ia juga menyinggung kurangnya pelatihan penyelamatan yang tepat di antara pemandu wisata dan porter gunung tersebut.
Pria berusia 36 tahun itu lebih lanjut mengungkapkan bahwa tidak pernah ada latihan penyelamatan dengan helikopter di sepanjang jalur berbahaya. Padahal, kecelakaan serupa pernah terjadi di masa lalu. Pada Oktober tahun lalu, pendaki Irlandia Farrel Paul terpeleset ke jurang dekat puncak gunung tetapi segera diselamatkan oleh Agam. Saat itu, ia kebetulan berada di dekat lokasi bersama tim yang mengevakuasi jenazah pendaki lokal lainnya, Kaifat Rafi Mubarok.
Menanggapi reaksi keras internasional yang meluas, pemerintah Indonesia berjanji untuk meningkatkan prosedur operasi standar pendakian Gunung Rinjani. Prosedur serupa juga akan diberlakukan di tujuan pendakian populer lainnya di seluruh nusantara, yang terkenal dengan gunung berapi yang menjulang tinggi. Namun, tindakan yang hanya sebatas kebijakan di permukaan saja tidak akan cukup.
Upaya ini harus berjalan seiring dengan reformasi yang lebih luas dalam manajemen pariwisata, termasuk membatasi jumlah pengunjung untuk memprioritaskan keselamatan. Setelah tragedi Rinjani, banyak pendaki mengkritik sistem pariwisata Indonesia karena memprioritaskan sisi komersial saja dan tidak fokus pada keselamatan pengunjung.
Untuk memberi contoh kontras, Gunung Kinabalu di negara tetangga Malaysia sangat terkenal sebagai model manajemen pendakian yang bertanggung jawab. Jumlah pendaki dibatasi hanya 120 orang per hari, jauh lebih sedikit dari batas harian pendaki Rinjani yang mencapai 700 orang. Setiap pasangan pendaki didampingi oleh pemandu berlisensi. Hal ini secara signifikan mengurangi risiko kelalaian. Bandingkan dengan kasus Marins. Ia dilaporkan ditinggalkan oleh pemandu dan kelompoknya di Cemara Nunggal setelah berusaha keras melanjutkan pendakian sampai puncak.
Kematian Marins yang tragis seharusnya menjadi pengingat bahwa di tengah pesatnya pertumbuhan pariwisata dan pengembangan destinasi berbasis alam, keselamatan serta kemanusiaan tidak boleh diabaikan. Semoga tragedi Marins mendorong refleksi dan reformasi di antara semua pemangku kepentingan, termasuk para pendaki itu sendiri. Mereka harus siap secara fisik dan mental sebelum melakukan perjalanan yang penuh tantangan tersebut.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.