Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsPrabowo harus patuh pada mandat konstitusional Indonesia tentang kebijakan luar negeri yang "bebas aktif" dan bersikap hati-hati serta bijaksana.
Ambisi Presiden Prabowo Subianto untuk meningkatkan pengaruh Indonesia di kancah global, antara lain melalui perjalanan internasional yang terus-menerus, mirip pendekatan yang dilakukan presiden Indonesia kedua Abdurrahman "Gus Dur" Wahid. Bagaimana pun, Prabowo harus mempertimbangkan bahwa, pada akhirnya, pencapaian diplomatik Gus Dur yang signifikan di luar negeri hanya sedikit berdampak di dalam negeri.
Prabowo baru-baru ini menghadiri KTT tahunan BRICS di Brasil, sebagai anggota penuh organisasi tersebut. Anggota baru lainnya termasuk Belarus, Bolivia, Kazakhstan, Kuba, Nigeria, Malaysia, Thailand, Vietnam, Uganda, dan Uzbekistan. Perlu dicatat bahwa semua anggota, baik lama dan baru, kecuali Kazakhstan dan Uzbekistan, juga merupakan bagian dari kelompok Global South.
Pada KTT tersebut, tampak bahwa para pemimpin ingin sekali mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Namun, mereka berusaha menghindari konfrontasi langsung. Tanpa peduli, Trump tetap mengancam akan memberi sanksi jika negara-negara ini melakukan apa yang ia anggap sebagai "tindakan permusuhan".
Deklarasi BRICS sebagian besar sejalan dengan pernyataan dari negara-negara berkembang, seperti yang ditunjukkan negara-negara yang mengadvokasi reformasi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Namun, masih harus dilihat apakah anggota tetap DK PBB, Rusia dan Tiongkok, punya aspirasi yang sama dengan negara-negara BRICS lainnya dalam hal ini.
Selama 21 bulan masa kepresidenannya, dari Oktober 1999 hingga Juli 2001, Gus Dur mengunjungi lebih dari 30 negara, termasuk semua negara adidaya. Ia meraih dukungan kuat dari para pemimpin internasional untuk memulihkan ekonomi dan demokrasi Indonesia. Gus Dur juga didukung untuk menjadikan Indonesia sebagai pemain kunci dalam diplomasi global. Terlepas dari keberhasilan ini, para pemimpin asing tak pelak lagi terpengaruh oleh pemakzulannya pada Juli 2001, yang membatasi dampak jangka panjang upaya diplomatiknya tersebut.
Meskipun tidak ada niat untuk secara langsung menghubungkan kejatuhan Gus Dur dengan situasi Prabowo saat ini, pengalaman Gus Dur menjadi pengingat yang baik. Memang, koalisi yang berkuasa saat ini menguasai lebih dari 80 persen DPR, hingga pemakzulan mungkin tidak akan terjadi. Tapi, Prabowo tetap harus patuh pada mandat konstitusional Indonesia tentang kebijakan luar negeri yang "bebas dan aktif". Ia harus bersikap hati-hati serta bijaksana, terutama dalam menghadapi godaan untuk memihak, di tengah sengketa perdagangan antara Trump dengan banyak negara.
Sejak menjabat pada Oktober tahun lalu, Prabowo telah mengunjungi beberapa negara besar dan selalu menerima sambutan hangat. Ia telah bertemu dengan para pemimpin dunia terkemuka, termasuk Presiden Tiongkok Xi Jinping, Perdana Menteri India Narendra Modi, dan Presiden Prancis Emmanuel Macron. Terlepas dari pertemuan-pertemuan penting ini, bagi banyak orang, arah pasti kebijakan luar negerinya masih belum jelas.
Pada KTT BRICS di Rio de Janeiro, para pemimpin mengeluarkan kritik, yang dirumuskan dengan sangat hati-hati, bagi Presiden AS Trump, yang telah mengancam tarif 10 persen terhadap negara-negara anggota BRICS. Bagi Indonesia, ikut mengkritik bisa berarti menghadapi tarif impor total sebesar 52 persen dari AS.
Upaya diplomatik ekstensif Indonesia untuk memengaruhi Trump sebagian besar terbukti gagal. Meski pengaruh militer, ekonomi, dan politik AS mungkin menurun, banyak negara masih ragu untuk membalas tindakan sepihak Trump secara terbuka.
Patut dicatat, untuk pertama kalinya, Presiden Xi absen dari KTT BRICS. Kehadirannya diwakili oleh Perdana Menteri Li Qiang. Presiden Xi menyadari betul bahwa Trump tidak dapat memaksa Tiongkok untuk mengikuti keinginannya, namun ia memilih untuk menghindari bentrokan yang tidak perlu, meskipun kekuatan dan pengaruh AS semakin berkurang.
Prabowo memiliki mandat penuh lima tahun untuk memimpin Indonesia hingga Oktober 2029. Secara konstitusional, ia berwenang untuk menjalankan kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif. Namun, di tengah ketidakseimbangan ekonomi dan kekuatan global saat ini, ada godaan kuat bagi Presiden untuk mengkompromikan kebijakan ini demi keuntungan jangka pendek.
Masa jabatan Presiden Gus Dur meninggalkan pelajaran berharga, yaitu bahwa meskipun keberhasilan kebijakan luar negeri sangat dihargai oleh publik, pada akhirnya, yang menentukan nasib para pemimpin bangsa adalah urusan dalam negeri.
Faktanya, keanggotaan Indonesia di BRICS membuka peluang besar untuk memajukan kepentingan nasional, di tengah persaingan kekuatan besar yang terjadi antara AS dan Tiongkok. Kuncinya adalah memanfaatkan posisi ini secara strategis.
Namun, untuk benar-benar mendapatkan manfaat, Indonesia harus punya agenda dan prioritas domestik yang jelas. Presiden harus membawa agenda ini ke forum BRICS, alih-alih sekadar beradaptasi dengan agenda kelompok tersebut. Agenda dan prioritas harus termasuk memastikan bahwa investasi dan proyek yang diperoleh selaras dengan prioritas nasional dan prinsip keberlanjutan lingkungan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.