Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsTelah terjadi tujuh kali pergantian pemerintahan, sejak integrasi resmi Papua ke dalam Republik Indonesia pada 1969. Tetapi, kisah lama tentang kemiskinan, marginalisasi, dan pelanggaran hak asasi manusia yang melanda tanah yang kaya sumber daya alam itu tetap sama.
Pemerintahan telah berganti tujuh kali sejak integrasi resmi Papua ke dalam Republik Indonesia pada tahun 1969. Tetap saja, kisah lama tentang kemiskinan, marginalisasi, dan pelanggaran hak asasi manusia yang melanda tanah kaya sumber daya alam itu masih sama. Saat pemerintahan sebelumnya terbukti tidak mampu menawarkan solusi yang langgeng untuk mengatasi masalah Papua, Presiden Prabowo menugaskan wakilnya yang masih baru, Gibran Rakabuming Raka, untuk membuat perubahan.
Baru-baru ini, Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa Presiden telah memutuskan untuk menugaskan Wakil Presiden guna mempelopori percepatan pembangunan di Papua. Untuk melaksanakan agenda tersebut, Gibran akan memimpin sebuah badan khusus sesuai amanat Undang-Undang Otonomi Khusus Papua 2021.
Spekulasi merebak bahwa Wakil Presiden harus langsung bekerja di Papua. Hal itu akan secara efektif menyingkirkannya dari dinamika politik sehari-hari di Jakarta. Namun, Yusril mengklarifikasi bahwa Gibran tidak akan ditempatkan di Papua. Sebagai gantinya, hanya staf Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua yang akan ditempatkan di wilayah tersebut. Wakil Presiden mengawasi kerja mereka dari jarak jauh.
Mandat agar Gibran mengurus Papua muncul setelah tekanan dari sekelompok pensiunan jenderal militer menguat. Banyak di antara para jenderal itu adalah pendukung Prabowo pada Pemilu 2014 dan 2019. Mereka menuntut agar Dewan Perwakilan Rakyat memulai langkah pemakzulan Wakil Presiden. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa pencalonannya sebagai wakil presiden Prabowo pada Pemilu 2024 cacat hukum. Saat itu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah batas usia calon presiden dan wakil presiden hanya untuk membuka kesempatan bagi Gibran, putra sulung Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Para hakim MK yang memutuskan hal tersebut kemudian dinyatakan bersalah atas pelanggaran kode etik.
Meskipun Prabowo kemungkinan besar tidak akan mendukung mosi dari para jenderal, rumor adanya keretakan antara dirinya dan Gibran telah menyebar, sejak unggahan lama dari akun yang diduga terkait dengan Gibran muncul di media sosial tahun lalu. Banyak unggahan yang dibuat antara tahun 2013 dan 2019 tersebut berisi hinaan dan pernyataan tidak pantas yang ditujukan kepada Prabowo. Saat unggahan itu dibuat, Prabowo sedang bersaing dengan Jokowi untuk memperebutkan kursi kepresidenan.
Bahkan, sejak menjabat pada Oktober tahun lalu, Presiden Prabowo belum merinci secara jelas tugas-tugas apa saja yang akan didelegasikannya kepada Wakil Presiden. Padahal, secara konstitusional, wakil presiden merupakan orang kedua yang memegang kendali negara. Banyak yang percaya bahwa penugasan Gibran di Papua akan menjadi kesempatan besar pertama bagi sang Wakil Presiden untuk membuktikan bahwa orang-orang yang meragukannya telah salah duga.
Namun, pertanyaan penting tentang inisiatif baru pemerintah untuk Papua bukanlah terkait dugaan atas ketidakmampuan Gibran. Wakil presiden sebelumnya juga menerima mandat yang sama, tetapi permasalahan yang mewarnai Papua terus berlanjut. Pembentukan badan baru yang akan diawasi Gibran berarti mengulangi pendekatan lama yang bersifat top-down, yang telah terbukti gagal.
Masih belum jelas apakah pemerintah telah melakukan konsultasi publik selayaknya, yang melibatkan berbagai kelompok dan suku yang telah mendiami Papua sejak lama, sebelum membentuk badan baru yang akan fokus pada percepatan pembangunan di Papua.
Penekanan pada pembangunan juga merupakan bentuk penyederhanaan dari sejarah ketidakadilan dan keterbelakangan yang mengakar dan kompleks di wilayah tersebut. Pekerjaan infrastruktur besar dibangun selama pemerintahan Jokowi untuk mendorong perekonomian lokal, tetapi provinsi-provinsi di Papua tetap menjadi yang termiskin di negara ini.
Telah dialokasikan dana otonomi khusus yang cukup besar untuk Papua. Namun, belum ada dampaknya pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Korupsi dan penyalahgunaan dana ini diyakini merajalela, sebagian akibat lemahnya pengawasan pemerintah pusat.
Setelah pembentukan provinsi-provinsi baru, sebuah langkah yang menyerupai strategi adu domba di masa kolonial, janji-janji penyediaan layanan publik secara lebih cepat sebagian besar belum terpenuhi. Konflik bersenjata sporadis yang menelan korban warga sipil masih terjadi. Meski begitu, kerinduan rakyat akan perdamaian di Papua tampaknya sulit terwujud karena pemerintah tetap tidak mengubah pendekatan keamanannya.
Tanpa penanganan yang memadai terhadap masalah fundamental, misalnya sejarah ketidakadilan, Papua akan tetap menjadi isu hangat. Kita bisa bersikap positif dan tidak berasumsi buruk pada Gibran, tetapi hanya jika ia dapat meyakinkan Presiden Prabowo untuk mengambil langkah yang manusiawi dan bermartabat, menuju Papua yang damai dan sejahtera.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.