TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Diatur hukum tanpa keadilan

Selama beberapa minggu terakhir, masyarakat menyaksikan langkah-langkah penegakan hukum, di negara yang mengklaim memperjuangkan supremasi hukum sebagai elemen dasar demokrasi.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Wed, July 30, 2025 Published on Jul. 29, 2025 Published on 2025-07-29T17:24:31+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) secretary-general Hasto Kristiyanto exits the courtroom on July 25 after his trial at the Jakarta Corruption Court. Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) secretary-general Hasto Kristiyanto exits the courtroom on July 25 after his trial at the Jakarta Corruption Court. (Antara/Bayu Pratama S)
Read in English

 

Selama beberapa minggu terakhir, bangsa ini telah menyaksikan bagaiman penegakan hukum dijadikan senjata di Indonesia, yang selama ini mengklaim memperjuangkan supremasi hukum sebagai elemen dasar demokrasi. Ironi semacam itu tampak dengan mudah dinormalisasi dalam sistem politik, karena unsur kepentingan akan menghalalkan segala cara.

Contohnya terjadi Jumat lalu, ketika Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto, dinyatakan terbukti bersalah dalam kasus suap. Ia dijatuhi hukuman tiga setengah tahun penjara karena membantu sesama anggota partai, Harun Masiku, menyuap seorang pejabat Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mendapatkan kursi kosong di DPR pada 2019. Hingga kini, Harus masih buron. 

Putusan itu muncul hanya seminggu setelah institusi yang sama, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, menjatuhkan vonis pada mantan menteri perdagangan Thomas Trikasih Lembong. Thomas dihukum atas tuduhan memperkaya pihak lain melalui penyalahgunaan kekuasaan dalam kebijakan impor gula yang diterapkan 10 tahun silam. 

Kami tidak mempertanyakan validitas putusan pengadilan, karena politisi di negeri ini rentan terhadap tindak pidana korupsi. Buktinya, terdapat puluhan anggota DPR, kepala daerah, dan menteri yang dipenjara karena korupsi. Namun, dalam kasus Hasto dan Thomas, konsep rule by law, dan bukan rule of law, sangat  menentukan motif di balik tuntutan hukum pada mereka. Dalam konsep rule by law, hukum menjadi tidak setara, karena posisi pemerintah ada di atas hukum, sehingga bisa sewenang-wenang mengatur agar hukum berfungsi sesuai kehendak pemerintah tersebut. 

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Seandainya Hasto dan Thomas tidak terus-menerus mengkritik atau menantang penguasa, para penegak hukum mungkin tidak akan menuntut mereka masuk penjara. 

Ada beberapa contoh politisi yang lolos dari hukuman meski terbukti nyata berperan dalam kasus-kasus korupsi tingkat tinggi. Mereka lolos hanya karena menunjukkan loyalitas yang tak tergoyahkan kepada penguasa. Pola penegakan hukum yang diskriminatif ini menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem peradilan, sehingga mendorong banyak orang untuk mencoba main hakim sendiri.

Kasus Hasto berputar sekitar dugaan keterlibatannya dalam suap sebesar 57.350 dolar Singapura (atau Rp731,3 juta) untuk Komisioner KPU Wahyu Setiawan pada 2019. Hasto memberikan uang itu agar Harun dapat menggantikan anggota DPR terpilih Nazarudin Kiemas, yang meninggal dunia sebelum dilantik pada Oktober 2019. Hasto juga didakwa menghalangi proses hukum, atas dugaan membantu Harun melarikan diri dari tuntutan pengadilan. Tetapi pengadilan kemudian membebaskan Hasto dari tuduhan tersebut karena kekurangan bukti.

Empat tersangka lain dalam kasus ini, termasuk Wahyu, telah divonis dan menjalani hukuman penjara lebih dulu. KPK baru menetapkan Hasto sebagai tersangka pada Desember lalu. Penentuan masa penyidikan terhadap Hasto menimbulkan banyak tanda tanya. Pasalnya, pemeriksaan terjadi setelah ia terus-menerus menyerang Presiden Joko “Jokowi” Widodo secara verbal dalam berbagai hal. Yang utama adalah terkait dugaan manuver Jokowi untuk membantu Prabowo Subianto dan calon wakil presidennya Gibran Rakabuming Raka, sang putra sulung, demi memenangkan pemilu 2024.

Sebagai anggota PDI-P, Jokowi seharusnya mendukung pilihan calon presiden dari partainya, yaitu Ganjar Pranowo, serta calon wakil presidennya, Mahfud MD.

Seperti Hasto, Thomas tidak berada di pihak Jokowi dalam pemilihan presiden 2024. Thomas bergabung dengan tim kampanye pengkritik pemerintah, Anies Baswedan. Saat itu, Anies berpasangan dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar.

Sulit menyangkal bahwa tuntutan hukum serta persidangan Hasto dan Thomas, yang terlambat, dilatari motif politik sedemikian rupa, sehingga sistem hukum telah dikooptasi dan diubah menjadi instrumen kekuasaan politik. Langkah-langkah "sah secara hukum" semacam ini juga telah ditempuh demi membungkam perbedaan pendapat atau menetralisir oposisi.

Alih-alih berfungsi sebagai pihak penengah yang netral, sistem hukum menjadi alat partisan. Dan alat itu mengaburkan batas antara penegakan hukum yang sah dan persekusi yang bermotif politik. Praktik-praktik semacam itu pada dasarnya mengkhianati semangat keadilan, karena mengubah ruang sidang dari forum keadilan menjadi arena balas dendam politik.

Penyimpangan keadilan seperti ini, yang sering terlihat dalam upaya membidik target, yaitu "musuh politik", menimbulkan bahaya eksistensial bagi prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi. Konsekuensinya yang lebih luas bagi demokrasi sangatlah mengerikan. Sistem yang menjadikan hukum sebagai senjata justru menciptakan lingkungan yang tidak stabil dan tidak adil.

Jika fenomena ini terus berlanjut, bangsa ini secara bertahap akan bergeser dari pemerintahan yang demokratis menuju negara yang lebih otokratis. Dalam negara semacam itu, hak-hak hukum diterapkan secara selektif, tidak sama bagi tiap orang. Keadilan lalu menjadi hak istimewa bagi orang tertentu saja.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.