TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Angka kemiskinan turun, tapi hidup masih terhimpit

Penurunan angka kemiskinan di Indonesia, ke titik paling rendah sepanjang sejarah, seharusnya jadi sesuatu yang dirayakan. Tetapi, tidak ada yang berminat melakukannya. 

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Wed, August 6, 2025 Published on Aug. 5, 2025 Published on 2025-08-05T19:47:05+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
A scavenger ties up used cardboard boxes he salvaged on Feb. 22, 2022, to sell for recycling in Jakarta. A scavenger ties up used cardboard boxes he salvaged on Feb. 22, 2022, to sell for recycling in Jakarta. (AFP/Bay Ismoyo)
Read in English

 

Laporan dua tahunan terbaru, yang terbit bulan lalu, menunjukkan bahwa angka kemiskinan turun dari 8,57 persen populasi pada September 2024 menjadi 8,47 persen pada Maret 2025. Jumlah penduduk miskin turun sekitar 210.000 jiwa menjadi 23,85 juta jiwa.

Pemerintah patut dipuji karena telah menurunkan jumlah penduduk yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, sebagaimana dicatat oleh data kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS).

Sepuluh tahun lalu, angka kemiskinan berada di atas 11 persen. Angka yang kita miliki sekarang adalah yang terendah sejak BPS mulai mencatat indikator ini pada 1960. Penurunan terjadi meskipun pemerintah telah menaikkan batas garis kemiskinan sebesar 2,34 persen dalam survei terbaru.

Pemerintah negara mana pun harus bertujuan menekan angka kemiskinan hingga nol. Setiap pemerintah harus memastikan bahwa masing-masing orang, terlepas dari kapasitas mereka untuk mencari nafkah sendiri, punya akses yang cukup terhadap makanan dan tempat tinggal, demi bertahan hidup.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Kita setidaknya semakin mendekati tujuan tersebut, meskipun masih sangat lambat. Bantuan sosial telah memainkan peran besar dalam upaya tersebut, baik di bawah pemerintahan saat ini maupun di masa pemerintahan sebelumnya.

Tidak ada yang salah dengan bantuan sosial, karena pengentasan kemiskinan yang parah merupakan tujuan kemanusiaan, bukan tujuan ekonomi. Ketika ekonomi gagal memastikan pencapaiannya, jaminan sosial harus menjadi solusi.

Namun, memberi bantuan sosial bukanlah sesuatu yang ideal. Hal itu seperti memberi ikan pada orang miskin, alih-alih memberinya pancing dan mengajarinya cara menggunakannya, sehingga ia dapat mencari nafkah untuk dirinya sendiri.

Angka kemiskinan tidak banyak bicara tentang kondisi ekonomi secara keseluruhan. Angka itu juga tidak berbicara tentang seberapa aman kondisi keuangan masyarakat dan prospek, atau dalam hal ini alat apa, yang mereka miliki untuk mencapai standar hidup yang lebih tinggi.

Kebutuhan akan bantuan dari negara harus diminimalkan. Hal itu bukan hanya karena bantuan sosial membebani anggaran, tetapi juga karena kebanyakan orang lebih mengharapkan pertahanan hidup mandiri.

Meningkatnya PHK massal di sektor formal, terutama di industri padat karya, adalah sesuatu yang cukup memprihatinkan. Karena, artinya, semakin banyak orang yang terjerumus ke dalam kehidupan yang tidak menentu di sektor informal.

Biasanya, kehilangan pekerjaan tidak serta-merta membuat orang jatuh ke bawah garis kemiskinan. Tetapi dalam banyak kasus dapat menyebabkan yang kehilangan pekerjaan tidak bisa tidur, dan senantiasa merasa cemas memikirkan nasib keluarga. 

Makin bertambahnya jumlah orang Indonesia yang dilaporkan lebih suka melihat-lihat barang di pusat perbelanjaan, dan bukannya membeli, mencerminkan adanya kekhawatiran tentang masa depan. Kecemasan bahkan melanda kalangan kelas menengah di negara ini, yang belakangan jumlahnya semakin menyusut.

Idealnya, pengeluaran para kalangan kelas menengah akan menghasilkan lapangan kerja formal bagi populasi yang jauh lebih besar, yaitu mereka yang secara halus disebut sebagai aspiring middle class, alias kelompok yang beraspirasi menjadi kelas menengah.

Bantuan sosial yang diperlukan untuk jangka pendek, baik dalam bentuk uang tunai, makanan, atau potongan biaya listrik, harus tepat sasaran. 

Sayangnya, banyak yang butuh tapi tidak memperolehnya. Di sisi lain, banyak yang mendapatkannya, ternyata tidak membutuhkannya. Hal itu memang hampir tak terelakkan terjadi dalam ekonomi yang membayangi negara kita yang luas ini. Meski begitu, pemerintah harus melakukan segala upaya untuk mengidentifikasi mereka yang membutuhkan bantuan sosial, serta meminimalkan penyalahgunaan dan korupsi di dalam pengelolaannya. 

Program makan bergizi gratis, kebijakan unggulan pemerintahan Prabowo Subianto, memiliki kelebihan tersendiri dalam hal penanggulangan kemiskinan yang terarah. Manfaat program ini akan paling dirasakan oleh mereka yang benar-benar membutuhkannya, dan kurang dirasakan oleh mereka yang terbiasa membeli makanan yang lebih mewah.

Bagaimana pun, cara terbaik untuk mengatasi kemiskinan adalah melalui peningkatan investasi dan konsumsi. Sumber daya negara harus dialokasikan untuk memfasilitasi kegiatan ekonomi tersebut terlebih dahulu, dengan bantuan sosial sebagai sarana pertahanan terakhir.

Penurunan investasi langsung asing (foreign direct investment atau FDI) yang baru-baru ini dilaporkan, sumber vital kegiatan ekonomi formal yang dipimpin sektor swasta, menjadi fakta yang sama sekali tidak menggembirakan.

Kita harus mendorong lebih banyak investasi di industri yang siap menghadapi masa depan, untuk menyediakan lapangan kerja yang andal di semua tingkat kualifikasi.

Jika tidak, mereka yang telah keluar dari kemiskinan akan hidup dengan rasa waswas, takut kembali jatuh miskin.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.