Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsPresiden Prabowo Subianto harus memanfaatkan momentum menyampaikan pidatonya yang akan datang, di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa bulan depan, agar sikap Indonesia terkait Palestina tak lagi ambigu.
Indonesia harus mulai menyuarakan posisinya terkait perang berkepanjangan di Gaza. Kita harus berbicara dengan sikap jelas dan tegas membela yang benar, dalam mendukung perjuangan Palestina.
Di saat gelombang dukungan global perlahan tapi pasti bergeser menuju keadilan bagi rakyat Palestina, Indonesia seharusnya tidak membiarkan suaranya teredam, atau bahkan tersembunyi di balik gestur kemanusiaan yang terkesan hampa mengingat kehancuran yang sedang berlangsung.
Janji pemerintah untuk mengirimkan 10.000 ton beras ke Gaza mungkin terlihat murah hati. Tetapi, tanpa akses ke saluran distribusi yang andal, ketiadaan listrik dan air bersih, bantuan tersebut berisiko menjadi bersifat simbolis ketimbang substantif.
Lebih buruk lagi, sikap Indonesia bisa jadi mengirim sinyal yang salah. Indonesia secara de facto tidak punya akses ke perbatasan Gaza. Jangan sampai negara ini dianggap lebih tertarik pada pencitraan, asal sudah membantu, dan bukannya menghadapi akar masalah penyebab penderitaan Palestina.
Yang lebih memprihatinkan adalah tren terkini Indonesia, yang menyelaraskan diri dengan bahasa diplomatik yang meniru poin-poin pembicaraan sekutu Barat Israel, yaitu mengutuk serangan yang dipimpin Hamas pada 7 Oktober 2023. Hal itu memang bagian dari pernyataan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang lebih luas, yang tampaknya hanya bertujuan untuk sekadar memecah kebuntuan.
Bagi negara yang telah lama menuntut perjuangan Palestina sebagai bagian dari identitas pascakolonial dan nilai-nilai konstitusionalnya, langkah ini menandai kemunduran yang tak terelakkan. Alih-alih menegaskan kembali kepemimpinan Indonesia dalam masalah ini, kita sekarang terdengar seperti sedang mengejar ketertinggalan.
Sikap meragukan ini muncul bahkan saat beberapa sekutu Israel yang paling setia, seperti Prancis, Inggris, Kanada, dan lainnya, telah bergerak untuk berjanji mengakui negara Palestina. Deklarasi-deklarasi ini, meski belum sempurna, merupakan tanda-tanda perubahan arah.
Indonesia seharusnya memanfaatkan momentum ini, dan bukan hanya ikut arus. Alih-alih menggemakan posisi yang dibentuk di Washington, Paris, New York, atau Brussels, kita seharusnya menunjukkan bahwa dunia akhirnya mengikuti sikap yang selama ini dipegang Indonesia.
Presiden Prabowo Subianto harus memanfaatkan momentum menyampaikan pidatonya yang akan datang, di Majelis Umum PBB bulan depan, untuk memperjelas sikap Indonesia. Dunia tidak butuh seruan damai yang setengah hati, atau dukungan yang tidak solid atas solusi dua negara.
Dunia memerlukan adanya pernyataan prinsip yang tegas. Harus dinyatakan bahwa Indonesia menentang pengusiran paksa warga Palestina yang hingga kini terus berlanjut, juga menolak normalisasi hubungan dengan Israel selama pendudukan belum usai, dan mendukung negara Palestina sebagai prioritas mendesak yang tak dapat dinegosiasikan.
Sayangnya, beberapa pendekatan Prabowo di masa lalu, seperti menyatakan kesediaan untuk menerima warga Gaza yang terusir, telah dijadikan amunisi oleh media Israel untuk menyatakan bahwa Indonesia mendukung pengusiran warga Palestina dari tanah air mereka.
Hal ini tidak dapat diterima. Indonesia harus mengirimkan pesan yang jelas. Harus ditegaskan bahwa tidak ada solusi yang bentuknya pengusiran paksa warga Palestina dan tidak ada tindakan kemanusiaan yang membenarkan pembersihan etnis.
Kegagalan untuk melakukannya tidak hanya akan mengikis kredibilitas kita di luar negeri, tetapi juga memicu kecurigaan di dalam negeri. Dukungan publik di sini untuk kemerdekaan Palestina tetap luar biasa besar.
Unjuk rasa di Jakarta dan kota-kota lain yang menunjukkan dukungan pada Palestina adalah bukti nyata. Jika pemerintah terus mengirimkan sinyal yang campur aduk, risikonya adalah kemunculan reaksi keras dan rusaknya kepercayaan publik.
Tidak dapat disangkal bahwa Indonesia harus mempertimbangkan kepentingan nasionalnya. Dalam hal ini, termasuk upayanya untuk menjadi anggota OECD dan tujuan diplomatik lain yang lebih luas. Namun, ambisi semacam itu tidak boleh mengorbankan kompas moral kita.
Sebaliknya, kekuatan Indonesia di panggung global terletak pada kemampuan kita untuk memimpin dengan keyakinan, bukan berdasarkan sesuatu yang ambigu.
Jika Presiden Prabowo percaya pada tindakan tegas, sekaranglah saatnya bertindak. Dia dapat, misalnya, mengajukan permohonan langsung dan mendesak pemimpin militer Israel, bukan tokoh politiknya, untuk menahan diri serta mencegah pendudukan lebih lanjut atas Gaza.
Isyarat seperti itu, betapapun simbolisnya, akan menegaskan kembali keberpihakan Indonesia pada mereka yang berada di dalam Israel, dan di mana pun, yang masih menginginkan perdamaian yang adil.
Perang di Gaza telah mengungkap kegagalan tatanan dunia saat ini. Tetapi perang juga membuka pandangan akan arah aliansi moral baru yang sedang terbentuk. Indonesia seharusnya berada di garda terdepan dalam penataan ulang ini. Kita tidak selayaknya hanya berbisik-bisik dari tepi arena. Kita harus bicara lantang menyuarakan kebenaran.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.