Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsKita tak boleh membiarkan skandal penipuan membutakan kita akan pentingnya kemajuan teknologi, terutama di bidang-bidang seperti kecerdasan buatan.
Ketika tren teknologi mencapai puncaknya, kilau inovasi menutupi berbagai persoalan yang belum terselesaikan. Namun ketika geliat itu mereda, industri seolah memasuki “musim dingin”, masa stagnasi tanpa kemajuan berarti. Saat itulah, teknologi ibarat danau yang surut: permukaannya turun, dan lapisan dasar yang selama ini tersembunyi, dengan segala masalahnya, mulai terlihat dengan jelas.
Pada 2015, CEO Slack, Stewart Butterfield, mengatakan kepada The New York Times, "Sepanjang sejarah, saat ini mungkin waktu terbaik bagi semua jenis bisnis di industri apa pun untuk mengumpulkan dana, layaknya [menghimpun kekayaan] sejak zaman Mesir kuno."
Terdengar dramatis, tetapi mungkin ada benarnya. Investasi modal ventura di Amerika Serikat meningkat tiga kali lipat antara tahun 2016 dan 2021. Naiknya investasi didorong oleh suku bunga yang sangat rendah dan investor yang sangat menginginkan imbal hasil yang sangat besar.
Dengan uang yang beredar, uji-tuntas pada sesuatu jadi hal yang dipikirkan belakangan. WeWork mengumpulkan 12,8 miliar dolar Amerika, sebagian besar dari SoftBank. Itu sebelum pengajuan IPO-nya pada 2019 mengungkap hiruk pikuk tata kelola bak sirkus, yang berakhir dengan kebangkrutan pada 2023. FTX memikat investor kelas kakap seperti Sequoia Capital, tetapi lalu kandas pada 2022 akibat penipuan besar-besaran yang dilakukan Sam Bankman-Fried.
Indonesia punya versinya sendiri dari “demam emas” ini, serta punya perhitungannya sendiri. Gold rush masa modern ini mencapai puncaknya pada 2021.
Baru-baru ini, jaksa penuntut umum menahan mantan CEO TaniHub, Ivan Arie Sustiawan, atas investasi yang mencurigakan. Penahanan juga dilakukan pada mantan direktur Edison Tobing.
Investasi yang menjadi inti penyelidikan dilakukan oleh MDI Ventures dan BRI Ventures, anak perusahaan modal ventura milik BUMN PT Telkom Indonesia dan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Telkomsel Mitra Investasi (TMI), unit penanam modal dari operator seluler Telkom, Telkomsel, juga termasuk di antara investor TaniHub.
Meskipun jaksa belum merinci putaran pendanaan mana yang sedang diselidiki, terdapat catatan bahwa MDI Ventures menjadi penanam modal utama dalam Seri B TaniHub, senilai 65,5 juta dolar, pada 2021. Dana tersebut dihimpun dari BRI Ventures dan TMI.
Yang membuat kasus ini menarik adalah keterlibatan CEO MDI Ventures, Donald Wihardja. Hal itu menunjukkan bahwa kecurangan mungkin tidak hanya terjadi di pihak pendiri tetapi juga di pihak investor.
BRI Ventures, bersama dengan unit penanam modal Bank Mandiri, Mandiri Capital, juga berinvestasi di perusahaan pinjaman peer-to-peer (P2P) lain yang rawan penipuan, Investree.
Mantan CEO perusahaan tersebut, Adrian Gunadi, saat ini menjadi tersangka dalam kejahatan terkait jasa keuangan. Ia dituduh menghimpun dana secara ilegal dari masyarakat. Ia mengundurkan diri pada Februari tahun lalu, ketika perusahaannya menghadapi rasio kredit macet yang tinggi. Delapan bulan kemudian, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha pinjaman P2P Investree.
Bahkan perusahaan akuakultur terkemuka pun, eFishery, tak luput dari kasus serupa. CEO Gibran Huzaifah ditahan atas dugaan penggelapan Rp15 miliar (919.664 dolar). Perusahaan tersebut mengakui adanya pembukuan ganda atas keuangan perusahaan.
Penegak hukum patut dipuji atas tindakan bersih-bersih yang dilakukan saat ini, tetapi mereka mungkin perlu menggali lebih dalam untuk menemukan setiap masalah yang muncul di masa bisnis sedang berjaya.
Di saat yang sama, kita tidak boleh membiarkan skandal penipuan membutakan kita akan pentingnya kemajuan teknologi. Hal itu terutama di bidang-bidang seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI). Dalam bidang ini, Indonesia punya banyak pengguna, tetapi pengembangnya terlalu sedikit.
Ya, kasus-kasus penipuan dan suku bunga tinggi tersebut telah menodai kepercayaan investor. Namun, menjauh dari industri ini sekarang sama saja dengan meninggalkan suatu ladang subur hanya karena ada beberapa tanaman beracun. Pelajaran yang bisa diambil bukanlah berhenti bercocok tanam, tetapi harus lebih cermat saat memilih benih dan petani.
Pekan lalu, pemerintah merilis rancangan peta jalan AI untuk konsultasi publik. Road map tersebut menguraikan rencana penggunaan AI untuk proyek-proyek strategis seperti program makanan bergizi gratis, inisiatif keberlanjutan pangan, koperasi Merah Putih, dan bahkan Sekolah Rakyat. Target implementasinya paling cepat tahun depan. Namun, rancangan tersebut juga menyoroti tantangan pembiayaan, dengan menyebutkan adanya rencana untuk memanfaatkan dana dari lembaga pengelola aset negara Danantara.
Meski demikian, terlepas dari adanya kebutuhan akan investasi teknologi, investor, baik dana milik negara atau swasta, harus berhati-hati dalam menavigasi jalur berisiko di masa depan. Mereka harus bisa menahan diri untuk tidak sekadar ikut tren investasi tanpa berpikir secara kritis. Terapkan pengawasan yang lebih ketat. Perkuat tata kelola. Hindari cepat merasa puas.
Dan yang terutama, jangan pernah terperosok lagi di lubang yang sama.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.