Ekspor pasir laut dapat mengancam eksistensi pulau-pulau di seluruh nusantara, serta mempengaruhi mata pencaharian masyarakat yang tinggal di sana. Para pemerhati memperingatkan bahwa, di masa lalu, pengerukan pasir telah menyebabkan puluhan pulau menghilang.
eputusan terbaru yang dibuat oleh pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk mencabut larangan ekspor pasir laut, yang telah berlaku selama puluhan tahun, telah menimbulkan kekhawatiran baru. Keputusan tersebut dicemaskan dapat membahayakan pulau-pulau di negara ini, terutama berbahaya bagi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau tersebut.
Kementerian Perdagangan baru-baru ini menerbitkan dua peraturan menteri yang akan mengizinkan ekspor pasir laut. Padahal, aktivitas tersebut sebelumnya sudah dilarang selama lebih dari 20 tahun. Peraturan menteri tersebut merupakan kebijakan turunan dari peraturan pemerintah (PP) tahun 2023 tentang pengelolaan sedimen laut, dengan ketentuan yang memungkinkan Indonesia mengekspor pasir keruk.
Kementerian Kelautan dan Perikanan kemudian mengumumkan bahwa wilayah yang diberi izin dikeruk demi ekspor adalah perairan Kepulauan Natuna di Kepulauan Riau. Di sana, terdapat sekitar 9 miliar meter kubik pasir yang dapat dikeruk, lebih dari separuh dari total 17 miliar meter kubik sedimen yang berpotensi diekstraksi dari seluruh nusantara.
Para pengamat berpendapat bahwa importir pasir laut, seperti Singapura, akan paling diuntungkan dari kebijakan yang berlaku mulai 8 Oktober itu. Selama ini, Singapura menggunakan pasir impor untuk mereklamasi lahan.
Namun, Jokowi membantah bahwa pemerintahannya, yang akan berakhir pada 20 Oktober, akan membuka kembali ekspor pasir laut. “Bukan pasir laut. Yang kita [akan ekspor] adalah sedimen yang selama ini mengganggu kapal-kapal yang melintasi perairan itu. Kelihatannya seperti pasir, tetapi tergolong sedimen,” kata Presiden pada 17 September, seperti dikutip kompas.com.
"Yang dimaksud sedimen yang menyumbat kapal, Jokowi mungkin merujuk pada pasir bercampur lumpur yang sebagian besar berada di sekitar muara sungai," kata Muhammad Karim dari Pusat Kajian Pengembangan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM). Menurutnya, pasir di dasar laut jarang sekali menyumbat pelayaran laut. "Tapi saya tidak yakin pemerintah akan mengekspor sedimen tersebut karena warnanya sangat gelap, berlumpur, dan bahkan mengandung serpihan," kata Karim dalam sebuah diskusi publik, Jumat 20 September lalu. "Saya kira Singapura tidak akan mau membeli pasir berlumpur seperti itu," lanjutnya seraya menambahkan bahwa pasir dari sekitar Natuna diklaim paling ideal untuk reklamasi lahan.
Pulau-pulau yang raib
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.