Pengerahan pasukan TNI telah membuat para aktivis hak asasi manusia waspada karena menganggap hal itu sebagai isyarat semakin bertambahnya kehadiran militer di sektor sipil selama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Bertambahnya pengerahan personel TNI untuk menjaga keamanan jaksa di seluruh negeri kembali membuat lembaga tersebut dalam polemik. Hadirnya TNI di Kejaksaan Agung (kejagung) memicu kekhawatiran akan intervensi militer di ranah peradilan.
TNI mengerahkan prajuritnya untuk menjaga semua kantor kejaksaan di seluruh Indonesia, guna memastikan kelancaran dan keamanan bagi para jaksa dalam menjalankan tugas. Pengerahan itu menyusul pesan yang ditandatangani oleh Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto pada 5 Mei. Dalam pesan tersebut, diinstruksikan pengerahan 30 personel militer untuk setiap kantor kejaksaan provinsi, dan 10 personel untuk setiap kantor kejaksaan tingkat kabupaten.
Pada Senin 12 Mei, juru bicara Kejagung Harli Siregar mengatakan bahwa perlindungan keamanan menunjukkan dukungan TNI terhadap jaksa. Ia katakan juga bahwa hal itu didasarkan pada Nota Kesepahaman tertanggal 6 April 2023, yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama antara kedua lembaga.
Pengerahan militer tersebut telah membuat para aktivis hak asasi manusia waspada. Mereka melihatnya sebagai petunjuk atas makin banyaknya kehadiran militer di sektor sipil selama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Kehadiran itu makin kentara, terutama setelah amandemen yang kontroversial terhadap Undang-Undang TNI baru-baru ini.
“Pengerahan semacam ini semakin memperkuat intervensi militer di ranah sipil, terutama di bidang penegakan hukum,” kata satu koalisi yang terdiri dari 20 kelompok hak asasi manusia, termasuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Mereka mengelurkan pernyataan pada Minggu 11 Mei.
Koalisi tersebut meminta agar militer mencabut surat pengerahan tersebut. Mereka memperingatkan bahwa tugas pertahanan oleh personil militer dapat merusak independensi hukum Indonesia.
Khawatir pada dwifungsi
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, mengatakan bahwa perintah pengerahan TNI tersebut melanggar konstitusi. Perintah itu juga melanggar sejumlah undang-undang, termasuk undang-undang yang mengatur Kejaksaan Agung dan Undang-Undang TNI itu sendiri. Pada Maret lalu, dilakukan revisi pada Undang-Undang TNI, meskipun ada protes publik terhadap ketentuan yang diyakini banyak orang membuka jalan bagi TNI untuk merambah ke peran sipil.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Wahyu Yudhayana membantah klaim tersebut. Menurutnya, Undang-Undang TNI menetapkan bahwa Kejagung adalah salah satu lembaga negara yang pengamanannya dapat ditugaskan kepada personel militer aktif.
Namun, salah seorang pendiri Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan bahwa ketentuan tersebut hanya berlaku bagi mereka yang bekerja di kantor Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (Jampidmil). “Undang-undang tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk pengerahan pasukan,” kata Khairul.
Usman dari Amnesty mencatat bahwa perintah penempatan ini “semakin memperkuat kecurigaan publik terkait kembalinya TNI pada dwifungsi, setelah amandemen undang-undang TNI”. Ia mengacu pada aturan militer rezim otoriter Orde Baru di bawah mendiang presiden Soeharto, yang menyebabkan terjadinya puluhan pelanggaran hak asasi manusia.
Tidak mendesak
Terakhir kali militer mengerahkan personelnya untuk menjaga kantor pusat Kejagung di Jakarta adalah pada Mei tahun lalu. Pengamanan dilakukan, menyusul adanya dugaan upaya anggota unit antiteror Densus 88 Polri memata-matai jaksa agung di lembaga tersebut.
Namun, penugasan yang paling akhir ini tidak didasarkan pada "kebutuhan khusus", kata Brigjen Wahyu. "Ini hanya bagian dari kerja sama keamanan rutin dan preventif, seperti yang telah dilakukan sebelumnya." Ia tambahkan bahwa militer akan tetap profesional dalam menjalankan tugas.
Harli dari Kejagung tidak mengungkapkan apakah kantornya meminta pengiriman militer atau tidak. Tapi, menurutnya, kantornya "tidak punya urgensi tertentu untuk melakukannya".
Rizal Darma Putra, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Strategis Indonesia (Lesperssi), memperingatkan bahwa militer dapat membuat preseden buruk, jika menempatkan pasukannya di Kejagung bukan untuk keadaan khusus.
“Jika Kejagung tidak menghadapi ancaman serangan, menjaga keamanannya tentu bukan tugas militer. Jika TNI tidak dapat menjelaskan urgensi perintah penempatan pasukan, hal ini dapat membuka jalan bagi pengerahan pasukan yang lebih banyak dalam urusan sipil di masa mendatang,” kata Rizal.
Harli dari Kejagung menepis kekhawatiran tentang intervensi militer. Ia menggambarkan perlindungan keamanan yang ditawarkan oleh TNI sebagai “upaya kolaboratif” antara kedua lembaga.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.