elakangan ini, pamer kekayaan seperti jadi obsesi beberapa orang. Ketenaran instan dan kepuasaan sesaat yang bisa diraih lewat sosial media melatarbelakangi aktivitas itu. Gawai memudahkan para pencari perhatian memajang foto yang memamerkan mobil sport, pakaian dan aksesori bermerek, liburan eksklusif, dan santapan berkelas.
Percaya atau tidak, semakin boros pengeluaran para tukang pamer ini, teman dan pengikut akan makin terpesona. Akhirnya, terjadi semacam kompetisi. Ada persaingan yang harus dimenangkan. Begitu terus bagai tanpa akhir.
Di tengah maraknya skandal terkait pegawai negeri yang bermewah-mewah, Presiden Joko “Jokowi” Widodo turun tangan dan mengimbau para pejabat, serta mungkin keluarga mereka, untuk berhenti memamerkan kekayaan di media sosial.
Sesungguhnya, imbauan Presiden itu harus dikatakan pada semua orang seantero negeri.
Presiden memang jelas mengarahkan kata-katanya untuk para pejabat di lingkungan Ditjen Pajak. Tentu karena kasus terkuaknya gaya hidup mewah pejabat dan keluarganya, yang dinilai kurang sesuai dengan posisi mereka sebagai abdi negara.
Apalagi, skandal di Kementerian Keuangan terbongkar di waktu yang sensitif. Bulan Maret adalah tenggat bagi masyarakat menyerahkan laporan pajak. Saat ini, Said Aqil Siroj, ulama ternama yang pernah menjadi ketua Nahdlatul Ulama (NU), bahkan telah menyerukan ajakan memboikot laporan pajak.
Reaksi masyarakat dipicu adanya penyerangan seorang remaja oleh putra Rafael Alun Trisambodo, seorang pejabat pajak senior. Setelah video pemukulan viral di dunia maya, warganet dengan cepat melacak halaman media sosial pelaku, Mario Dandy Satrio, yang menampilkan gaya hidup hedonisme. Jeep Rubicon yang dia pamerkan di Facebook ternyata terdaftar atas nama orang lain, praktik yang biasa dilakukan untuk menghindari pajak.
Seperti menular, foto lain segera viral juga. Salah satunya adalah foto Dirjen Pajak Suryo Utomo dan rekan-rekannya sedang mengendarai sepeda motor besar. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati segera mengeluarkan perintah pembubaran klub sepeda motor besar di lingkungan Kementerian yang beranggotakan petinggi pajak.
Setelah “detektif internet” dan polisi menemukan lebih banyak informasi, akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertindak. Saat ini, KPK sedang menyelidiki kemungkinan adanya korupsi besar-besaran di lingkup kantor pajak.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD telah mengumumkan adanya transaksi mencurigakan senilai Rp.300 triliun (atau sekitar US$19 miliar) yang telah dilaporkan di Kementerian Keuangan. Lebih jauh, dikatakan Mahfud bahwa puluhan pejabat pajak senior sedang disorot karena tidak melaporkan kekayaan mereka dengan jujur.
Sri Mulyani, saat menjadi Menteri Keuangan di bawah mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari 2004 hingga 2009, pernah menaikkan gaji pegawai pajak. Para pegawai pajak menjadi pegawai negeri dengan bayaran tertinggi di negara ini. Sri Mulyani mengklaim kebijakannya akan membatasi godaan untuk menggelapkan dana publik. Nyatanya, mereka malah terkenal karena korupsi.
Perbaikan sudah diupayakan, meski baru sedikit. Korupsi jelas-jelas masih terjadi, dan mungkin dalam skala luar biasa besar. Bukan itu saja, para pegawai negeri ini, dan keluarganya, tetap terang-terangan memajang harta mereka di depan publik yang membayar gaji mereka -lebih langsung dari yang kita bayangkan.
Masyarakat sungguh berharap imbauan Presiden akan meresahkan para petugas pajak yang sudah digaji besar. Asal-usul uang yang mereka hamburkan juga harus diungkap dalam penyelidikan. Bagaimana pun, para pejabat harus lebih peka terhadap adanya warga yang kurang beruntung di Indonesia. Bayangkan, hampir 10 persen dari 280 juta penduduk negara kita hidup di bawah garis kemiskinan. Pandemi COVID-19 mengakibatkan jutaan orang kehilangan mata pencaharian dan kini bergantung pada bantuan sosial dari pemerintah. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin sangat besar, dan mungkin akan menjadi lebih besar selama periode ini akibat ketidakpastian ekonomi.
Ketidakpedulian terhadap lingkungan sekitar dan sesama warga negara sangat tidak sesuai dengan budaya Indonesia, jika kita masih percaya pada konsep gotong royong. Bahkan, hal itu bertentangan dengan semua ajaran agama di nusantara.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.