ank Indonesia (BI) hanya perlu waktu kurang dari seminggu untuk menindaklanjuti peringatan Presiden tentang ketergantungan Indonesia pada jaringan layanan kartu kredit asing.
Pada 18 Maret, bank sentral mengaku sudah berdiskusi dengan para pebisnis lokal untuk mengembangkan jaringan layanan kartu kredit domestik. Saat ini kemajuannya sudah mencapai 90 persen.
Hanya dua hari kemudian, juru bicara BI Erwin Haryono mengatakan kepada CNBC Indonesia bahwa jaringan layanan kartu kredit nasional akan diluncurkan pada April. Disebutkan bahwa sistem finalisasi transaksi yang dikembangkan Indonesia mengikuti sistem yang berjalan di Jepang dan China.
Selama bertahun-tahun, BI telah membangun infrastruktur pembayaran domestik dengan harapan menurunkan biaya transaksi dan lokalisasi proses penyelesaian transaksi, bukan melalui jasa layanan asing. Perkembangan dunia akhir-akhir ini semakin menunjukkan bahwa sistem pembayaran yang dikendalikan bangsa asing bisa jadi bumerang bagi penggunanya.
Indonesia punya bukti kuat soal itu.
Maret lalu, beberapa turis Rusia terdampar di Bali tanpa bisa membayar makanan atau akomodasi. Parahnya, mereka juga tak bisa membeli tiket pulang. Ternyata, kartu kredit mereka tidak bisa dipergunakan gara-gara sanksi Barat yang mengeluarkan bank-bank di Rusia dari SWIFT, sistem pembayaran elektronik internasional.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo membuka sanksi ekonomi Amerika Serikat terhadap Rusia tersebut sebagai contoh kasus untuk menunjukkan bahwa menggunakan Visa dan Mastercard bisa berujung masalah.
Memang, selain membahas pentingnya kemampuan menyelesaikan transaksi kartu kredit di dalam negeri dari sisi ekonomi, Presiden dan BI paham betul sisi strategis kasusnya.
Dalam perang, sanksi ekonomi bisa diberlakukan. Jelas, sistem pembayaran dapat dipergunakan sebagai senjata oleh negara-negara yang mengendalikan sistemnya.
Langkah Presiden menekankan pentingnya punya jaringan kartu kredit independen di dalam negeri sudah tepat. Meskipun saat ini tidak ada potensi ancaman ekonomi apa pun yang mengemuka bagi Indonesia.
Punya jaringan kartu kredit domestik mirip analogi memiliki tentara yang siaga. Pertahanan keamanan harus dijaga, meski tidak ada ancaman perang. Patut pula dicatat bahwa Jokowi dalam pidatonya juga mendesak kepolisian dan militer RI untuk mulai menggunakan senjata dan barang-barang pabrikan lokal, artinya tidak perlu membeli dari negara lain.
Yang tidak boleh dilupakan adalah soal sanksi sekunder. Negara ketiga berisiko dikenai sanksi ketika terlibat perdagangan dengan pihak yang dikenai sanksi utama. Pemerintah harus bisa meminimalisir risiko tersebut agar bisa menjalankan kebijakan luar negeri Indonesia sesuai slogan “bebas dan aktif”.
Saat ini, dunia makin nyata terbagi menjadi dua blok ekonomi. Yang satu dipimpin oleh Amerika, sedang blok yang lain dimotori China. Ada risiko jelas bagi negara yang terlalu dominan bergantung pada satu kekuatan saja. Di sisi lain, negara-negara yang bisa dengan cerdik bergerak luwes di antara dua kubu raksasa tersebut tentu akan mendapat keuntungan besar.
Dalam kasus Indonesia, misalnya, adalah bijaksana untuk tetap membuka opsi membeli minyak dari Rusia. Meskipun, Indonesia juga harus bersiap seandainya, contoh saja, Washington mengajukan tuntutan agar Jakarta berhenti memasok bahan mentah ke perusahaan China atau kita akan menghadapi sanksi tertentu.
“Jika ada satu negara bermasalah dengan kekuatan dunia, ketergantungan kita pada sistem pembayaran [asing] akan berdampak buruk,” mengutip juru bicara BI.
Tak perlu membahas efektivitas jaringan kartu kredit domestik. Toh bisa juga muncul pertanyaan: Siapa yang masih menggesek kartu kredit di era keuangan digital?
Rendahnya penggunaan kartu kredit bisa menjadi peluang pertumbuhan menarik bagi sebagian kecil bisnis perbankan di Indonesia. Tapi bisa juga berarti bahwa fokus pada kartu kredit ternyata tidak banyak berperan dalam pertahanan keamanan nasional.
Yang diinginkan Jokowi adalah kemandirian dalam sistem pembayaran secara umum, bukan sekadar kartu kredit. Jadi bisa diasumsikan bahwa dia tidak membidik Visa dan Mastercard secara khusus, meski sempat menyebut dua merek tersebut.
Menghentikan penggunaan jaringan layanan keuangan yang berbasis di Amerika adalah tindakan gegabah. Bagaimana pun, jangan lupakan andil mereka dalam pariwisata. Namun, punya alternatif dan berencana menyelenggarakan sistem pembayaran dalam negeri yang lebih aman untuk politik kita, merupakan keputusan paling bijaksana.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.