asus pemecatan seorang perwira menengah di Polda Sumut baru-baru ini seperti mengulang skandal yang melingkupi petugas pajak yang kini tengah diperiksa atas dugaan korupsi.
Polisi tak perlu ragu mengusut dugaan korupsi Achirudin Hasibuan, setelah yang bersangkutan diketahui menerima gratifikasi dari gudang penyimpanan solar yang dilindunginya sejak 2018.
Achirudin diberhentikan dengan tidak hormat dari kepolisian setelah sidang etik mengungkap bahwa dia tidak melakukan apa pun untuk menghentikan putranya menyerang seorang mahasiswa pada Desember lalu. Mirip kasus pegawai pajak Rafael Alun Trisambodo, yang putranya menculik dan menganiaya seorang remaja, tapi pemeriksaan lalu merembet hingga membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap suap yang diduga diterima Rafael dari para klien di perusahaan konsultan pajak yang ia kelola.
Polisi telah menetapkan Achirudin sebagai tersangka dalam kasus penyerangan yang dilakukan sang anak. Lebih jauh, polisi mengisyaratkan kemungkinan memperluas penyidikan terhadap mantan Kabid Narkoba Polda Sumut itu, atas dugaan menutupi kasus korupsi dan pencucian uang.
Dalam beberapa tahun terakhir, kredibilitas Polri dipertaruhkan akibat sejumlah skandal yang melibatkan perwira tinggi institusi tersebut.
Dua jenderal polisi dinyatakan bersalah, menerima suap untuk memfasilitasi pemulangan buronan pengusaha Djoko S. Tjandra pada 2021. Februari lalu, jenderal polisi Ferdy Sambo dijatuhi hukuman mati setelah terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap ajudannya. Jenderal polisi lainnya, Teddy Minahasa, berada di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, menghadapi sidang kejahatan narkoba dan sedang menanti vonis yang mungkin akan dijatuhkan minggu depan. Jaksa menuntut Teddy dengan hukuman mati.
Polri seperti tidak berhenti dipermalukan. Lebih jauh, konsekuensi hukum yang melibatkan para jenderal polisi korup telah membuat hubungan antara Polri dan KPK seperti menemui jalan buntu.
Publik juga sempat dihebohkan kasus korupsi yang melibatkan pejabat polisi berpangkat rendah. Kasus Labora Sitorus adalah salah satu yang paling menonjol. Ia ditangkap pada 2013 karena penyelundupan minyak dan penebangan liar di Papua, membuatnya punya Rp1,5 triliun uang haram. Lalu ada lagi Ismail Bolong, yang meraup triliunan rupiah dari bisnis batu bara ilegal di Kalimantan Timur.
Achirudin hanya menambah coreng moreng di wajah Polri. Kasusnya makin menodai reputasi polisi sebagai penegak hukum dan pengayom rakyat.
Namun, oknum nakal seharusnya hanya elemen kecil yang ada di antara lebih dari 434.000 orang anggota polisi.
Dalam jajak pendapat Indikator terbaru, secara mengejutkan ditemukan bahwa pada Februari 2023 tingkat kepercayaan publik terhadap Polri sangat tinggi, yaitu sebesar 70,8 persen. Angka ini naik selama tiga bulan berturut-turut, dari 66,5 persen pada Desember 2022 dan 60,5 persen pada November 2022.
Tingginya kepercayaan publik pada polisi dilandasi komitmen Polri dalam menuntaskan kasus yang melibatkan para perwira tinggi. Responden sangat puas dengan cara polisi menangani penyelidikan Sambo di tengah laporan adanya kubu-kubu dalam institusi kepolisian. Para responden juga memuji reformasi kelembagaan yang bertujuan untuk meningkatkan transparansi kepolisian.
Bagaimana pun, polisi tidak boleh berpuas diri menerima hasil jajak pendapat. Mereka perlu berbuat lebih banyak untuk membuktikan kemampuan mereka melayani publik dengan lebih baik dan lebih cepat. Salah satunya karena masih banyak laporan tentang polisi yang meminta “upah” dari pelanggar lalu lintas atau pemohon SIM.
Sampai batas tertentu, skandal Achirudin dan kasus-kasus sebelumnya menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan internal tidak berjalan dengan baik. Contohnya, Polda Sumut membutuhkan waktu hampir lima tahun untuk membongkar gratifikasi yang diterima Achirudin sejak 2018.
Perlu lebih banyak inisiatif untuk membangun birokrasi kepolisian yang kredibel dan profesional. Untuk awal, Kapolri bisa meminta laporan harta kekayaan para petugas yang berjaga di pos-pos strategis yang rawan suap.
Ini era keterbukaan. Langkah-langkah transparan macam itu jadi keharusan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.