TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Ekosistem EV ASEAN tak perlu tergesa

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Tue, May 23, 2023

Share This Article

Change Size

Ekosistem EV ASEAN tak perlu tergesa People walk past parked Group of 20 Summit official electric vehicles (EVs) in Nusa Dua, Bali, on Nov. 12, 2022. (AFP/Bay Ismoyo)
Read in English

R

asanya semakin sulit berharap banyak dari ASEAN akhir-akhir ini. Konflik yang sedang berlangsung di Myanmar dan ketegangan di Laut China Selatan menimbulkan banyak pertanyaan terkait relevasi perhimpunan negara-negara Asia Tenggara tersebut dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di wilayahnya.

Terlepas dari ketegangan politik dan gejolak keamanan, banyak juga hal yang layak dirayakan. Meski sering tak masuk hitungan, sebagian besar negara di ASEAN telah pulih dari pandemi COVID-19 dan mampu bertahan dari resesi global yang mengikuti pandemi. Mereka juga bertahan dari dampak krisis pangan dan krisis energi global yang disebabkan oleh Perang Ukraina. Tentu karena negara-negara di Asia Tenggara lebih banyak bertumpu pada perdagangan dan hubungan intra-regional dengan China dan negara-negara Asia lainnya untuk memenuhi kebutuhan domestik.

KTT ASEAN di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, menghasilkan deklarasi untuk mendukung negara-negara anggota menggunakan kendaraan listrik (electric vehicle atau EV) dan membangun industrinya. Banyak yang skeptis dan menganggap deklarasi tersebut sekadar sebagai janji kosong produk perhimpunan.  Mengingat industri otomotif dan manufaktur baterai EV relatif kurang berkembang di kawasan Asia Tenggara, wajar jika ada keraguan.

Tapi selalu ada potensi.

Berbeda dengan industri kendaraan yang menggunakan mesin jenis pembakaran internal, ekosistem EV cenderung lebih tersegmentasi dan bersifat khusus. Mineral penting seperti nikel, timah, dan tembaga yang digunakan untuk memproduksi baterai yang menghidupkan EV hanya tersedia di beberapa negara. Jumlah negaranya kaya akan mineral tersebut juga lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah negara yang punya deposit minyak. Produksi berkelanjutan hanya bisa terjadi jika produsen mobil listrik memasukkan negara-negara ini ke dalam rantai pasokan mereka.

Negara-negara ASEAN pemilik cadangan mineral besar seperti Indonesia dan Vietnam sedang membangun industri baterai EV mereka. Kini memang baru tahap pengembangan. Di Indonesia, LG dan Hyundai dari Korea Selatan sedang mengembangkan pabrik baterai EV, yang diharapkan mulai berproduksi pada 2024. Konglomerat Vietnam Vinfast juga telah memulai pembangunan fasilitas untuk memproduksi baterai yang akan dipasarkan, selain untuk memenuhi kebutuhan produksi EV-nya sendiri.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Terdapat industri manufaktur kendaraan besar di wilayah ASEAN. Menurut studi ISEAS-Yusof Ishak Institute, Thailand merupakan produsen mobil terbesar di Asia Tenggara, memproduksi lebih dari 1,6 juta kendaraan pada 2021. Indonesia dengan 1,1 juta unit dan Malaysia dengan 0,48 juta unit menempati urutan berikutnya.

Ada peluang untuk mengembangkan teknologi EV dan baterai di antara negara-negara ASEAN. Dan dengan perbedaan kekuatan milik masing-masing, negara-negara di kawasan tersebut dapat saling melengkapi untuk menciptakan rantai pasokan produksi EV yang berkelanjutan.

Namun, kemampuan produksi mungkin lebih besar daripada kemampuan menyerap hasil produksinya sendiri.

Sementara pemerintah telah menawarkan insentif dan subsidi, salah satu hambatan dalam penggunaan teknologi mobil listrik di kawasan adalah tingginya biaya mobil dan sepeda motor listrik. Padahal sebagian besar anggota ASEAN adalah negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah.

Masih menurut studi dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, rasio motorisasi atau jumlah kendaraan yang terdaftar per 1.000 orang di kawasan ASEAN masih relatif rendah. Angka untuk Malaysia dan Thailand masing-masing 993,7 unit dan 608,7 unit pada 2020. Indonesia jauh lebih rendah dengan 485 unit.

Daya beli kendaraan listrik di masyarakat ASEAN akan membaik hanya jika negara-negara tersebut dapat secara konsisten mempertahankan pertumbuhan ekonominya.

Infrastruktur pendukung perawatan EV, seperti titik pengisian daya dan ketersediaan suku cadang kendaraan sebagian besar masih minim. Di Indonesia, hingga Desember tahun lalu baru tersedia 439 stasiun pengisian.

Selain masalah daya beli, yang juga utama adalah kenyataan bahwa ketersediaan listrik di negara-negara ASEAN sebagian besar masih bergantung pada bahan bakar fosil. Artinya, penggunaan EV tidak akan sepenuhnya ramah lingkungan. International Energy Agency (IEA) mencatat bahwa lebih dari 60 persen listrik Indonesia masih menggunakan batu bara pada 2019. Sedangkan 96 listrik di Singapura dan 60 persen di Thailand menggunakan gas alam.

Saat ini, EV adalah bentuk revolusi yang tak terelakkan dalam industri kendaraan di seluruh dunia. Namun, untuk negara-negara Asia Tenggara, masih banyak yang harus diselesaikan sebelum dapat menjadikan kawasan ini sebagai pusat EV global. Dalam lingkup ASEAN, pemerintah dapat bertukar pengalaman dan gagasan tentang kerangka kebijakan yang tepat untuk membangun ekosistem. Jangan lupa bahwa tidak ada tuntutan bagi negara mana pun untuk menjadi lebih berdaya melebihi kapasitasnya.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.