TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

AI hadir mengerjakan segalanya

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Thu, June 8, 2023

Share This Article

Change Size

AI hadir mengerjakan segalanya The logo of OpenAI is displayed near a response by its AI chatbot ChatGPT on its website, in this illustration picture taken on Feb. 9. OpenAI, the ChatGPT creator, is valued by Microsoft at nearly US$30 billion despite still burning through money at a high speed. (Reuters/Florence Lo)
Read in English

M

engapa ChatGPT membuat heboh saat dirilis ke publik pada November tahun lalu? Jawabannya adalah karena sebagian besar dari kita tidak paham seberapa jauh kemajuan kecerdasan buatan, atau artificial intelligent (AI). Yang kita lihat adalah robot peniru manusia yang memamerkan barang-barang di acara televisi. Gerakannya canggung, suaranya aneh, tidak wajar. Akhirnya, si robot berteknologi AI terlihat layak dijadikan bahan lelucon dan bukan dianggap sebagai ancaman.

Kini situasinya berbeda. Kita harus berhenti tertawa saat chatbot, program komputer simulasi percakapan, seperti ChatGPT, serta implementasi AI lainnya mulai dipublikasikan. Teknologi AI ternyata dapat menulis kalimat yang koheren, melukis dengan baik, membuat foto khayalan, atau membuat musik secara lebih baik jika dibandingkan dengan hasil tangan manusia.

Tiap hari, lusinan cerita mengenai AI terbit di seluruh dunia. Sesuatu yang kita pikir akan terjadi di masa depan, ternyata saat ini sudah di depan mata. Pemerintah pun tergopoh-gopoh mencoba menguasai teknologi yang kemajuannya seperti tak terkendali. Uni Eropa sedang menyusun undang-undang untuk mengatur AI generatif, sebutan untuk kecerdasan buatan yang mampu menghasilkan karya baru. Masalah privasi dijadikan landasan undang-undang.

Bagi sebagian besar masyarakat, pemikiran bahwa AI akan mengambil alih pekerjaan terasa lebih menakutkan ketimbang kenyataan bahwa AI bisa mengambil macam-macam data. Memang, ada kekhawatiran tentang AI yang bandel lalu berusaha memerangi manusia, seperti di film Terminator. Namun, ancaman yang paling jelas dalam waktu dekat adalah bahwa AI dapat membuat banyak dari kita jadi tidak berguna di tempat kerja, yang pada akhirnya mengancam mata pencaharian kita.

AI menghadirkan otomasi yang telah menghilangkan ratusan juta pekerjaan di industri manufaktur. Lengan robotik menggantikan tenaga manusia di pabrik-pabrik perakitan. Pemandangan kilap besi tanpa satu pun pekerja berwujud manusia menimbulkan kekhawatiran hadirnya ancaman bagi pekerjaan massal di sektor sekunder di masa depan. Bahkan sektor primer juga hanya sedikit membutuhkan tenaga manusia karena robot traktor serta drone untuk pertanian bisa bekerja sepanjang hari.

Kita telah bisa menerima kenyataan bahwa sebagian besar dari kita pada akhirnya akan bekerja di sektor tersier, misalnya jasa. Namun, sekarang AI pun mulai mencaplok tugas pegawai kantoran.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Selama ini, kita beranggapan bahwa sektor industri jasa akan bisa bertahan di masa depan karena kita berasumsi ada keunggulan dalam diri kita jika dibandingkan dengan teknologi, dalam hal kreativitas dan rasa seni. Dan sekarang kita mulai meragukan pikiran kita sendiri. Kita mulai bertanya-tanya apa sebenarnya yang disebut kreativitas, karena saat ini mesin sudah bisa melakukan hal-hal kreatif sebaik manusia.

Janganlah kita menipu diri kita sendiri, sudah tak mungkin kita kembali ke masa lampau. AI tidak akan dapat dibendung, justru akan menjadi lebih baik dari hari ke hari. Para pemimpin harus bersiap dengan aturan untuk menanggapi tantangan-tantangan yang muncul, terutama yang terkait ketenagakerjaan.

OpenAI, perusahaan yang menciptakan ChatGPT, mengatakan bahwa 80 persen dari semua pekerja dapat menyaksikan lahan kerja mereka terpengaruh oleh AI sampai batas tertentu. Banyak profesi akan musnah.

Dengan bantuan mesin, kita punya pilihan. Kita dapat menghasilkan sesuatu lebih banyak menggunakan jumlah tenaga kerja yang sama, atau bekerja lebih sedikit untuk hasil yang sama, atau gabungan dari keduanya. Produktivitas tenaga kerja memang telah meningkat setelah berabad-abad, dan hadirnya AI makin mempercepat proses itu.

Perdebatan global tentang pengurangan jam kerja tidak pernah lebih relevan dengan yang terjadi sekarang. Sementara itu, bagi Indonesia, kita harus sadar bahwa kita tidak bisa menyusul kemajuan yang telah dicapai negara-negara berkembang lain yang sudah lebih maju.

Negara-negara Asia Timur, dari Jepang dan Korea hingga China, semuanya memanfaatkan fakta bahwa dalam upah, tenaga kerja mereka bisa lebih murah jika dibandingkan dengan pekerja di negara-negara kompetitor yang lebih maju secara ekonomi.

Namun, karena mesin telah mengambil alih banyak pekerjaan, faktor tenaga kerja murah menjadi semakin tidak punya nilai tambah yang menarik bagi investor asing. Faktor lain, terutama biaya energi, justru menjadi lebih signifikan.

Yang terpenting, pemerintah harus melipatgandakan upayanya untuk meningkatkan sumber daya manusia, sehingga lebih banyak orang Indonesia dapat memperoleh pekerjaan yang tidak tergantikan teknologi otomasi, setidaknya untuk beberapa masa lagi.

Mendorong lebih banyak investasi dalam pendidikan tinggi sangat penting, terutama pelatihan-pelatihan tentang AI, pembelajaran soal mesin, dan komputasi awan atau cloud computing. Dengan begitu, kita dapat mengambil keuntungan melalui pemanfaatkan revolusi teknologi yang tak terelakkan, yang sudah dipaksakan terjadi dengan hadirnya AI.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.