TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Perpolitikan yang tidak sehat

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Thu, July 27, 2023

Share This Article

Change Size

Perpolitikan yang tidak sehat Coordinating Economics Minister Airlangga Hartarto (right), who is also Golkar Party chairman, arrives at the Attorney General's Office for questioning regarding a palm oil graft case on July 24, 2023. (Antara/Reno Esnir)
Read in English
Indonesia Decides

Jika Indonesia ingin melindungi sedikit yang tersisa dari demokrasinya yang mulai pudar, Indonesia perlu menjaga politik partainya tetap sehat melalui sistem demokrasi yang memungkinkan terjadinya perebutan kekuasaan secara adil di antara faksi-faksi yang bersaing di internal partai.

Sayangnya, sistem demokrasi semacam itu tidak selalu berhasil mengingat masih adanya relasi kuasa klientelisme dan jual beli suara dalam politik Indonesia. Namun, setidaknya hingga saat ini, kita masih punya persaingan sehat di dalam partai politik, dengan sedikit campur tangan dari negara, jika ada.

Oleh karena itu, kita boleh merasa prihatin atas krisis kepemimpinan di Partai Golkar yang tampak akhir-akhir ini. Pasalnya, krisis menunjukkan tanda-tanda campur tangan negara. Cukup mengkhawatirkan, terutama karena terjadi hanya beberapa bulan sebelum pemilu.

Harus kita akui bahwa Golkar adalah partai paling demokratis di tanah air. Memang, masa lalu partai ini sangat kelam karena fungsinya sebagai kendaraan politik Orde Baru berujung pada berbagai bentuk kecurangan suara yang melibatkan partai. Golkar mungkin tidak dapat melepaskan reputasinya sebagai partai oligarki, tetapi politik partainya cukup kompetitif untuk memungkinkan perubahan kepemimpinan yang berarti. Partai politik besar lainnya dikendalikan sepenuhnya oleh tokoh atau keluarga tertentu, bahkan terlalu lemah untuk menolak kekuatan uang, yang berarti mereka dapat “dibeli” oleh orang kaya raya dari luar partai.

Sulit membayangkan pemimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) selain Megawati Soekarnoputri, dan pimpinan partai juga tidak tertarik dengan gagasan pemilihan kader di luar keluarga Sukarno. Begitu juga dengan kekuatan Prabowo Subianto di Partai Gerindra, Yudhoyono di Partai Demokrat, dan Surya Paloh di Partai NasDem. Fakta bahwa Prabowo dan Surya membangun karier politik mereka melalui Golkar merupakan bukti kedewasaan Golkar.

Jelang pemilu, sejumlah kader Golkar menuntut diadakannya kongres luar biasa untuk mengganti posisi Ketua Airlangga Hartarto. Airlangga diajukan sebagai calon presiden sejak beberapa tahun lalu, tetapi popularitasnya tak kunjung terdongkrak.

Pemicu krisis partai Golkar, setidaknya tidak secara langsung, bukan hasil buruk Airlangga di TPS, tetapi dugaan rencananya untuk keluar dari dua koalisi propemerintah, satu dipimpin oleh PDIP dan yang lainnya oleh Partai Gerindra. Airlangga diduga akan bergabung dengan koalisi oposisi yang dipimpin oleh Partai NasDem. Spekulasi ini muncul dari kehadiran para pengurus Golkar di acara NasDem baru-baru ini, yang menampilkan pidato politik calon presidennya, Anies Baswedan.

Perebutan kekuasaan di tubuh Golkar bukan hal aneh. Namun krisis kepemimpinan yang sekarang ini berbeda karena menunjukkan beberapa tanda campur tangan negara, yang dapat melemahkan independensi partai dan semakin merusak sistem partai sebagai institusi demokrasi.

Dalam sebuah wawancara dengan KompasTV, Luhut Binsar Panjaitan, sosok kuat yang berpengaruh di Istana Negara, yang juga memimpin dewan penasehat partai Golkar, mengatakan bahwa dia siap mengikuti pemilihan pimpinan partai untuk menggantikan Airlangga, asal didukung para anggota. Dia berargumen bahwa kepemimpinan saat ini "tampak menjual dirinya sendiri, menawarkan diri ke mana-mana."

Perlu dicatat bahwa Luhut mundur dari Golkar ketika dia secara terbuka mendukung Gubernur Jakarta Joko “Jokowi” Widodo maju menjadi calon presiden. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi itu kini lebih dipandang sebagai tangan kanan Presiden ketimbang sebagai elit partai Golkar yang mendapat dukungan cukup besar dari jajaran partai.

Suasana semakin ricuh, saat krisis di tubuh Golkar semakin memanas dan Airlangga dipanggil Kejaksaan Agung untuk dimintai keterangan terkait dugaan perannya dalam kasus korupsi sawit. Sulit untuk mengabaikan kesan bahwa langkah Kejaksaan Agung bersifat politis. Apalagi ketika muncul opini tentang kecenderungan yang cukup meresahkan dari pemerintah, yang mempersenjatai lembaga penegak hukum untuk tujuan politik jangka pendek.

Yang jelas, kita tidak tahu jika ada komplotan di dalam Istana Negara yang berupaya menggulingkan Airlangga, dan melakukannya sebagai bagian dari keinginan Presiden untuk ikut campur dalam proses pemilu. Terlepas dari hal itu benar atau tidak, pernyataan Luhut bahwa ia siap memimpin Golkar telah mengirim pesan yang salah pada publik, mengingat latar belakang politiknya.

Negara harus membiarkan Golkar menyelesaikan masalahnya sendiri, termasuk membiarkannya memilih koalisi yang sesuai dengan cita-cita dan kepentingan partainya.

Kita harus menjaga politik partai di Indonesia tetap sehat.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.