residen Joko "Jokowi" Widodo belum menandatangani rencana peraturan presiden tentang media berkelanjutan. Perpres tersebut baru akan berlaku akhir tahun ini, setelah ditandatangani, tetapi telah menimbulkan kontroversi.
Meniru media Australia, dengan news bargaining code yang mereka miliki, peraturan presiden tentang media berkelanjutan akan mewajibkan perusahaan teknologi besar membayar perusahaan media untuk setiap artikel berita yang dipublikasikan di platform teknologi.
Selain itu ada kesepakatan lain setelah tarik ulur selama tiga tahun antara pemerintah, perusahaan media, Dewan Pers, dan platform teknologi besar. Jika iterasi mulai diberlakukan, perusahaan raksasa teknologi harus memprioritaskan hasil pencarian mereka untuk outlet media lama yang sudah mapan dan disetujui oleh Dewan Pers.
Kedua ketentuan dalam perpres tersebut, jika diterapkan secara efektif, akan menjadi pendobrak situasi bagi media lawas seperti The Jakarta Post. Perpres tidak hanya akan meniupkan nyawa baru bagi redaksi, tetapi juga dapat membantu memulihkan kepercayaan masyarakat pada ekosistem media. Dalam beberapa tahun terakhir, pemberitaan telah dibanjiri disinformasi, hoax, dan berita yang mengandalkan sensasi belaka untuk sekadar memancing klik.
Perubahan yang terjadi akan berdampak sangat luas. Karena itu, rencana peraturan tersebut sudah memicu banyak reaksi.
Setidaknya, salah satu platform teknologi besar telah memberi tanggapan keras terkait rancangan peraturan tersebut. Dalam tulisan di blog yang terbit minggu lalu, Google mengatakan bahwa peraturan tersebut dapat merampas akses masyarakat terhadap keberagaman sumber berita, karena algoritma hanya mengunggulkan sejumlah media saja.
Google juga menyatakan keraguan karena rencana peraturan tersebut kemungkinan mematikan karya pembuat konten, jurnalis warga, dan tokoh masyarakat yang mempublikasikan karya mereka melalui saluran yang tidak disetujui Dewan Pers.
Salah satu tokoh populer di YouTube juga berkomentar di media sosial, mengungkapkan keprihatinan bahwa suara independen yang tayang di media sosial kemungkinan akan terpinggirkan.
Beredar desas-desus adanya kelompok bisnis Amerika yang akan mengajukan keberatan resmi kepada pemerintah Indonesia, untuk mengimbau agar peraturan media berkelanjutan dibuat lebih longgar.
Bahkan di kalangan media, rencana regulasi tersebut menimbulkan perbedaan pendapat.
Akhir pekan lalu, 15 media yang berbasis di Jakarta dan sudah punya nama mengundurkan diri secara massal dari asosiasi media siber. Alasan yang diajukan adalah karena pandangan mereka tentang rencana peraturan media berkelanjutan berlawanan dengan pandangan asosiasi.
Sementara itu, organisasi media daring yang lebih kecil, yang mendukung peraturan yang lebih longgar, justru bergembira setelah outlet media utama keluar dari asosiasi. Mereka berpendapat bahwa jika peraturan media berkelanjutan ditegakkan, peraturan tersebut hanya akan menguntungkan konglomerat media.
Silang pendapat bukan lagi hal yang mengejutkan. Yang terjadi mirip dengan situasi di Australia, ketika pemerintahan di bawah mantan perdana menteri Scott Morrison mencoba meloloskan peraturan news bargaining code.
Dalam kasus Australia, beberapa platform teknologi besar mengancam akan keluar dari bisnis penelusuran secara total.
Di Kanada, baru-baru ini, pemerintahnya mengeluarkan peraturan yang mewajibkan raksasa teknologi untuk membayar artikel berita. Perusahaan teknologi menanggapi aturan tersebut dengan memutuskan untuk sepenuhnya meniadakan artikel berita di platform mereka.
Dari kedua kasus, di Australia dan Kanada, kita paham bahwa pemerintah membela media. Para pemimpin negara tahu bahwa demokrasi membutuhkan lingkungan media yang sehat dan berkelanjutan.
Tidak akan terpikirkan oleh negara mana pun kemungkinan kehilangan suara jurnalistik yang tepercaya. Hilangnya berita berkaidah jurnalistik di masa depan bisa terjadi jika ada pengalihan pendapatan iklan dari media arus utama ke platform teknologi besar sebagai akibat dari persaingan yang tidak seimbang.
Jurnalisme yang serius butuh investasi yang serius. Pembuat konten dapat menghasilkan konten yang menghibur dan terkadang informatif. Sementara teknologi AI atau kecerdasan buatan dapat menghasilkan tulisan dengan beberapa teknik yang mirip artikel berita. Namun, jurnalisme yang berpegang teguh pada akuntabilitas, kebenaran, dan wawasan tidak mudah diperoleh. Dan membiarkan media tanpa etika jurnalistik akan sangat merugikan masyarakat kita.
Rencana regulasi media berkelanjutan dapat memacu investasi dalam jurnalisme yang kredibel. Dalam kondisi demokrasi Indonesia saat ini, kita butuh jurnalisme yang kredibel, lebih dari sebelumnya.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.