Petisi yang saat ini dihadapi Mahkamah Konstitusi (MK), yang isinya menggugat usia minimum bagi calon presiden, adalah contoh hal yang tepat tapi dilakukan di saat yang salah.
Pada prinsipnya, kita mendukung perubahan batas minimum usia presiden, yang saat ini adalah 40 tahun, sebagaimana diatur oleh UU Pemilu 2017. Tentu alasannya bukan karena kita yakin bahwa politisi yang lebih muda pasti lebih baik jika dibandingkan dengan senior mereka. Justru, kita paham bahwa usia bukan jaminan kualitas kepemimpinan yang baik. Apa pun preferensi politiknya, masyarakat pasti menuai hasil baik jika ada lebih banyak sosok kompeten yang memenuhi syarat untuk menjadi presiden.
Meski demikian, pembatasan usia minimum juga tidak salah untuk posisi setinggi presiden. Pembatasan tersebut tak akan dihitung sebagai diskriminasi, asalkan “berdasarkan kriteria yang objektif dan masuk akal”, yang berlaku dalam International Covenant for Civil and Political Rights, sebuah perjanjian multilateral yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB.
Bapak bangsa pendiri Amerika Serikat menetapkan usia minimum seorang presiden adalah 35 tahun. Kebijakan itu tetap berlaku hingga saat ini. Sementara, Australia mensyaratkan bahwa calon pejabat publik harus berusia minimal 18 tahun, termasuk untuk jabatan perdana menteri. Meski begitu, orang termuda yang pernah menjabat sebagai PM Australia adalah Stanley Bruce, yang terpilih saat berusia 42 tahun.
Usia, dalam konteks ini, berfungsi sebagai proksi yang tidak sempurna untuk sesuatu yang lebih mendasar, yaitu pengalaman. Pengalaman tidak bisa diukur dengan angka tahun, meski kita tahu bahwa pada kenyataannya, butuh waktu bertahun-tahun bagi kebanyakan orang agar bisa memiliki cukup pengalaman hingga layak dipilih jadi presiden.
Untuk menetapkan batas usia minimal, berapa pun angkanya, kita perlu punya alasan kuat dan transparan. Maka, mari meminta MK menyerahkan keputusan kepada para legislatif dan eksekutif, yang harus berdiskusi dengan publik sebelum memutuskan sesuatu.
Tidak ada alasan bagi MK untuk melakukan perubahan spesifik pada batas usia minimum calon presiden. Masalahnya bukan doktrin hukum, tapi karena preferensi masyarakat yang tidak ada standarnya secara global.
Permohonan uji materi terkait usia presiden mirip usulan beberapa anggota parlemen untuk mengubah sistem pemilu dari daftar perwakilan terbuka menjadi daftar perwakilan tertutup untuk pemilu 2024. Dua kasus tersebut merupakan wewenang pembuat kebijakan, asalkan prosesnya cermat, terbuka, dan melibatkan publik. Jika pembuat kebijakan merasa perlu mengubah batas minimal usia presiden, seperti yang disarankan salah satu partai politik, maka mereka seharusnya merevisi UU Pemilu jauh sebelum persiapan pemilu 2024 dimulai.
Sulit untuk mengabaikan pandangan picik dari alasan pengajuan petisi tersebut. Sempat santer beredar bahwa isu usia presiden dikemukakan untuk membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko “Jokowi” Widodo, agar yang bersangkutan bisa mengikuti pemilihan presiden 2024. Politisi berusia 35 tahun itu telah disebut sebagai calon wakil presiden potensial, entah untuk Prabowo Subianto atau Ganjar Pranowo.
Presiden mengaku tidak akan mengintervensi MK yang kini dipimpin iparnya, Anwar Usman. Gibran sendiri tidak ambil pusing dengan pengajuan petisi, dan mengakui bahwa ia masih terlalu muda untuk mampu mengemban tugas sebagai pemimpin tertinggi. Namun dia belum secara tegas menolak gagasan mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada 2024.
MK harus menahan tekanan politik dalam mempertimbangkan keputusan mengubah kebijakan yang akan mengubah peta jalur demokrasi kita, tepat sebelum pemilihan umum. Sesungguhnya, pilihan ada di tangan para pembuat kebijakan, dan bukan di tangan MK. Namun sangat tidak tepat memutuskan hal itu sekarang, hanya beberapa bulan sebelum pendaftaran calon peserta pemilihan presiden dimulai.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.