aat musim kemarau, relatif mudah menemukan berita mengenai kebakaran hutan di Indonesia. Apalagi fenomena cuaca El Niño saat ini telah menyebabkan kemarau panjang dalam beberapa bulan terakhir. Namun tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini ada peningkatan kebakaran tempat pembuangan sampah akhir atau TPA.
Setidaknya tujuh TPA di Jawa Tengah dan Jawa Barat telah terbakar dalam beberapa bulan terakhir. Di Jawa Tengah, yang terbakar termasuk TPA Jatibarang di Semarang dan TPA Putri Cempo di dekat kampung halaman Presiden Joko “Jokowi” Widodo di Surakarta.
Kebakaran terparah terjadi di TPA Sarimukti, seluas 25 hektar, di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Dulu, TPA ini merupakan pusat sampah akhir bagi kota Bandung dan kota-kota sekitarnya. Pihak berwenang masih berjuang memadamkan api yang telah menghanguskan sedikitnya 20 hektar TPA tersebut sejak bulan lalu. Kebakaran juga menyebabkan polusi udara yang berdampak pada ribuan orang yang tinggal di kawasan tersebut.
Rangkaian kebakaran TPA ini menimbulkan pertanyaan terkait penyebabnya. Apakah sistem pengelolaan sampah di negara ini begitu buruk? Hal ini harus jadi bahan pertimbangan pihak berwenang untuk mencegah kebakaran lebih parah di masa depan.
Menurut para pejabat, sebagian besar kebakaran yang terjadi di tumpukan sampah tahun ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi gas dari sampah, terutama metana yang mudah terbakar. Gas terbentuk dari penguraian sampah organik.
Saat api muncul, angin kencang dan banyaknya sampah yang mudah terbakar di TPA memperburuk keadaan sehingga menyebabkan api cepat menyebar dan melalap wilayah sekitar. Hal itulah yang terjadi di Sarimukti, yang telah menghabiskan hingga 20 ha.
Masalah-masalah tersebut sangat bisa dicegah. Yang diperlukan hanyalah sistem pengelolaan sampah yang lebih baik, seperti tempat pembuangan sampah yang terkontrol atau sanitary landfill, dan bukan tempat pembuangan sampah terbuka. Sanitary landfill seharusnya berbentuk cekungan yang kemudian diisi sampah lalu ditutup tanah di atasnya.
Di sanitary landfill, sampah dikubur untuk mempercepat penguraian sekaligus mencegah kebakaran. Fasilitas TPA juga harus punya sistem penangkap metana untuk menyimpan gas yang mudah terbakar. Gas metana yang tersimpan kemudian dapat digunakan untuk menghasilkan panas dan listrik di lokasi TPA.
Pihak berwenang menyatakan bahwa TPA Jatibarang dan TPA Putri Cempo dirancang untuk berfungsi sebagai sanitary landfill. Kenyataannya, menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) cabang Jawa Tengah, sampah yang dibuang masih belum diolah dengan tepat.
Undang-undang Pengelolaan Sampah tahun 2008 mengharuskan semua tempat pembuangan sampah di negara ini adalah tempat pembuangan sampah sistem sanitary landfill. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membatasi pengoperasian tempat pembuangan sampah terbuka pada tahun 2013.
Namun, sebagian besar pemerintah daerah, yang punya wewenang untuk merancang strategi pengelolaan sampahnya, masih terbelakang dalam hal ini. Setidaknya, menurut kementerian, sepertiga tempat pembuangan sampah di Indonesia masih menggunakan metode pembuangan terbuka.
Pemerintah daerah mengaku menghadapi beberapa kendala, misalnya kurangnya lahan yang dibutuhkan untuk mengubur sampah sehari-hari. Jumlah sampah juga meningkat, seiring peningkatan jumlah penduduk dan perubahan kebiasaan belanja konsumen.
Ada juga alternatif yang lebih murah untuk mencegah kebakaran TPA, misalnya memisahkan sampah organik dari sampah anorganik. Namun hal ini hanya bisa efektif jika proses pengurangan, penggunaan kembali, dan daur ulang sampah telah efektif dan didukung pemerintah daerah maupun masyarakat secara terus-menerus.
Penelitian telah menunjukkan bahwa pemisahan sampah sangat efektif mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke tempat pembuangan sampah akhir. Lebih sedikit limbah berarti lebih sedikit gas metana yang dihasilkan.
Menangani sampah memang pekerjaan kotor. Tak ada yang berminat melakukannya. Namun, penting bagi pemerintah daerah untuk mulai bekerja lebih keras demi memastikan pengelolaan sampah yang lebih baik.
Jika tidak dikelola, tinggal tunggu waktu saja sampai makin banyak TPA yang terbakar.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.