TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Pemilu yang kredibel

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Mon, October 9, 2023

Share This Article

Change Size

Pemilu yang kredibel Easy does it: House of Representatives Speaker Setya Novanto is assisted as he climbs stairs to attend a questioning session at the Corruption Eradication Commission (KPK) office in Jakarta on Nov. 22, 2017. (JP/Wendra Ajistyatama)
Read in English
Indonesia Decides

Baru-baru ini, Mahkamah Agung (MA) membatalkan dua ketentuan dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait persyaratan kelayakan calon legislatif untuk tahun depan. Secara efektif, peraturan memberlakukan masa tunggu lima tahun bagi semua mantan narapidana yang karena kejahatannya harus menjalani hukuman minimal lima tahun.

KPU tidak punya pilihan selain menuruti putusan tersebut, agar bebas dari tuduhan tidak menghormati supremasi hukum. Saat ini KPU sedang melakukan pemeriksaan terhadap para calon anggota legislatif yang terdaftar. Keputusan MA harus jadi pedoman untuk mendiskualifikasi mantan narapidana korupsi yang ingin kembali ke dunia politik dalam waktu kurang dari lima tahun setelah bebas dari penjara.

Setidaknya satu partai politik telah mencopot calon-calon yang dilarang mencalonkan diri, sesuai standar baru tersebut. Partai-partai lain harus mengikuti jejaknya, atau KPU yang harus mencopot calon yang tak memenuhi persyaratan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya ada 39 mantan narapidana korupsi yang masuk dalam daftar sementara calon legislatif KPU. Daftar tersebut dirilis pertengahan Agustus lalu. Beberapa partai politik dilaporkan mencalonkan tokoh-tokoh tersebut karena prospek pemilu mereka. Alibinya, tokoh-tokoh tersebut tetap sangat populer meski punya catatan kriminal.

Ketentuan yang dicabut oleh MA pada dasarnya mengizinkan terpidana, yang haknya untuk menjadi pejabat publik dicabut sementara oleh pengadilan, untuk tetap mendaftar sebagai calon legislatif begitu hak politiknya dipulihkan. Mereka tidak perlu menunggu hingga lima tahun setelah keluar dari penjara.

Aturan tersebut dikeluarkan KPU pada April tahun ini, meski bertentangan dengan UU Pemilu 2017 dan dua putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2022 dan 2023. Semua putusan menetapkan masa tunggu lima tahun, yang berlaku bagi semua terpidana, tanpa kecuali.

Dalam keputusannya baru-baru ini, MA memerintahkan KPU untuk menghapus ketentuan kontroversial tersebut. MA menyatakan bahwa penyelenggara pemilu harus menyaring kandidat yang berintegritas melalui penerapan persyaratan ketat.

Ketentuan yang dicabut memang tidak secara khusus menyebut mantan narapidana korupsi. Namun, fakta bahwa hakim MA dan para pemohon uji materi sama-sama memilih mantan narapidana korupsi dalam permohonan mereka, mencerminkan naiknya kekhawatiran terhadap korupsi.

Majelis hakim yang beranggotakan tiga orang tersebut menggambarkan ketentuan KPU sebagai “kurangnya komitmen dalam pemberantasan korupsi”. Menurut majelis hakim, penerapan masa tunggu universal selama lima tahun diperlukan “untuk mencegah korupsi” serta memberikan “waktu yang cukup bagi semua mantan narapidana korupsi untuk merenungkan kesalahan mereka”.

Permohonan uji materi ini diajukan oleh Persatuan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), ICW, dan dua mantan pimpinan KPK yang khawatir aturan KPU memudahkan mantan narapidana korupsi mencalonkan diri sebagai pejabat publik.

Selama korupsi masih merajalela, lembaga negara, termasuk KPU, harus jadi teladan. Tidak boleh ada ruang bagi koruptor. Pemilu seharusnya menghasilkan anggota parlemen yang memperjuangkan aspirasi masyarakat, bukan hanya yang membela kepentingan pribadi atau keuntungan faksi yang sempit.

Ratusan anggota legislatif di tingkat nasional dan daerah telah dihukum karena korupsi. Seorang Ketua DPR bahkan jelas-jelas dinyatakan bersalah atas kejahatan korupsi.

Dampak korupsi di kalangan legislatif sangat luas. Pertama dan terpenting, korupsi di legislatif akan sangat melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga. Akibatnya, kepercayaan terhadap partai, politik, dan demokrasi terdampak buruk. Pada akhirnya, semua menihilkan hasil gerakan reformasi tahun 1998.

Survei Indikator Politik Indonesia mengenai opini publik terhadap kinerja pemerintah pada Juni 2022 menemukan bahwa dari sembilan lembaga, partai politik adalah yang paling tidak dipercaya. Dalam survei itu, DPR berada di peringkat kedua dari bawah. Menurut lembaga jajak pendapat tersebut, kinerja buruk tersebut tidak berubah sejak 2014.

Temuan-temuan ini mengkhawatirkan, bahkan sangat mencemaskan, karena partai politik dan lembaga legislatif berperan sangat penting dalam pemerintahan. Korupsi yang dilakukan oleh anggota parlemen akan membuat masyarakat makin apatis terhadap politik.

Politik harus diisi oleh orang-orang yang berintegritas. Jika kenyataannya justru sebaliknya, tuduhan bahwa politik adalah praktik kotor akan mendapat pembenaran. Merajalelanya korupsi yang melibatkan anggota parlemen hanya akan memperkuat persepsi negatif masyarakat terhadap sistem yang berjalan saat ini.

Demi pemilu yang kredibel, mari kita pastikan bahwa hanya orang-orang dengan integritas tinggi yang dapat mencalonkan diri sebagai pejabat publik.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.