emenangan mengejutkan politisi sayap kanan Partai Kebebasan (Party for Freedom atau Partij voor de Vrijheid - PVV) Geert Wilders dalam pemilihan umum Belanda pada 22 November telah membangkitkan kewaspadaan seluruh dunia. Jika Wilders berkuasa, retorika anti-Islamnya, secara khusus, dapat merusak hubungan antara Belanda dan Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia.
Namun, Belanda bukan satu-satunya yang mengalami fenomena mengkhawatirkan ini. Saat ini, konstituen besar di berbagai negara telah mendukung para pemimpin sayap kanan ekstrem, terutama di Amerika Serikat, Italia, dan Hongaria.
Banyak masyarakat Indonesia yang merasa kesal dan murka mendengar ejekan Wilders yang ia lakukan berulang kali terhadap Islam dan Al-Quran. Ia bahkan telah menghadapi ancaman pembunuhan. Namun seperti kata pepatah, “Gajah di pelupuk mata tak tampak, tapi semut di seberang lautan tampak.”
Indonesia sama sekali tidak kebal terhadap gerakan sayap kanan. Intoleransi, mentalitas antiminoritas, dan kecenderungan otoriter juga tampak meluas di negara ini.
Saat kita mempersiapkan diri untuk pemilihan presiden dan legislatif tahun depan, terdapat kekhawatiran nyata bahwa negara ini akan mengabaikan keberhasilan demokrasi dan pluralistik yang berhasil dicapai selama dua setengah dekade terakhir. Banyak yang cemas akan terjadi sebuah pembalikan keadaan yang mengancam akan menciptakan kondisi bagi kebangkitan Partai Baru. Akan ada otoritarianisme gaya ketertiban. Kita bisa mengkritik pilihan-pilihan politik rakyat Belanda dari jauh, tapi kita punya banyak masalah serupa di dalam negeri. Setidaknya, mari kita lakukan sesuatu untuk mengatasi hal ini.
"Angin perubahan telah tiba! Selamat kepada Geert Wilders atas kemenangannya dalam pemilu Belanda," tulis PM Hongaria Viktor Orban di X, platform yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter. Ia menanggapi kemenangan rekan ideologisnya tersebut.
Mari berharap kita tidak menerima ucapan serupa dari pemimpin Hongaria setelah kita melaksanakan pemilihan presiden tahun depan.
Politisi sayap kanan Perancis yang terkenal, Marine Le Pen, menggambarkan kemenangan Wilders sebagai hasil dari "orang-orang yang menolak padamnya api nasionalme [dan percaya] bahwa masih ada harapan untuk perubahan di Eropa".
Wilders telah memperlihatkan ambisinya untuk menjadi perdana menteri berikutnya di negara dengan perekonomian terbesar kelima di Uni Eropa tersebut. Seperti di banyak negara, untuk bisa berkuasa, seorang politisi harus membentuk koalisi pasca pemilu. Wilders mungkin akan mengurangi retorika dan kebijakannya demi mendapat kekuasaan.
Dia belum memperoleh dukungan mayoritas untuk menjadi perdana menteri baru, bahkan dengan PVV-nya yang memenangkan 37 persen dari 150 kursi parlemen. Negosiasi untuk mencapai dukungan mayoritas tersebut mungkin akan makan waktu lama.
Namun rekam jejaknya sebagai politisi sejak 1998 dan sebagai ketua PVV sejak 2006 mengisyaratkan bahwa ia akan bertindak sebagai pemimpin bergaya otoriter, yang akan berusaha menindas kelompok minoritas, yaitu Islam dan migran, yang ia benci. Ia juga menyatakan niatnya untuk mengadakan referendum “Nexit” agar bisa menentukan apakah Belanda harus meninggalkan Uni Eropa.
Semua pemimpin sayap kanan di Barat adalah penggemar berat mantan presiden AS Donald Trump. Trump merupakan kandidat Partai Republik dan menjadi yang paling populer untuk pemilu AS pada November 2024. Para pendukung setianya tidak peduli bahwa ia menghadapi berbagai tuntutan pidana terkait penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam beberapa pidatonya, Trump telah menarik perhatian karena mengangkat isu-isu dalam negeri seperti imigrasi ilegal, pemutusan hubungan kerja di Amerika, utang nasional Amerika, dan terorisme. Khusus terorisme, Trump mengaitkannya dengan Islam. Ia memperjuangkan narasi anti-Islam dan antimigrant. Ia pun berulang kali mengatakan bahwa AS terlalu bermurah hati pada dunia luar, yang ia sebut sebagai pihak yang tidak tahu berterima kasih. Ia juga sesumbar bisa melemahkan Tiongkok jika ia kembali berkuasa pada 2024.
Para pemimpin sayap kanan cenderung membesar-besarkan kekuatan negaranya dan enggan bekerja sama, apalagi membagi aset negaranya, dengan negara lain. Mereka begitu yakin bahwa negaranya akan jauh lebih baik jika fokus pada diri sendiri.
Di seluruh dunia, warga negara secara demokratis memilih calon diktator yang mendorong kebijakan berlandaskan prasangka buruk dan sikap otoriter. Di Belanda, banyak pemilih paham bahwa Wilders dapat mengancam perdamaian dunia serta membahayakan demokrasi, namun toh mereka tetap memberikan suara untuknya.
Kita harus mewaspadai kecenderungan global ini. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia tidak terbebas dari bahaya tersebut. Selalu ada sosok semacam Wilders di antara kita.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.