TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Semua demi mobil listrik

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Fri, December 29, 2023

Share This Article

Change Size

Semua demi mobil listrik Ready to roll: The newly completed facility of PT HLI Green Power, the first electric vehicle (EV) battery factory in Southeast Asia, is seen in this undated photo released by Karawang New Industry City (KNIC). Located in the KNIC industrial estate in Karawang, West Java, HLI Green Power is a joint venture between South Korea’s Hyundai Motor Group and LG Energy Solution, and is slated to start production next year. (Karawang New Industry City)
Read in English

S

etelah lima tahun berupaya menjadi pusat kegiatan bertaraf global untuk industri kendaraan listrik (electric vehicle atau EV), mungkin sekarang waktu yang tepat bagi Indonesia untuk melakukan refleksi.

Sejak Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengeluarkan keputusan preside tentang program percepatan kendaraan listrik pada 2019, Indonesia mengalami masa-masa sulit. Ternyata, punya cadangan nikel terbesar di dunia tidaklah cukup bagi Indonesia untuk bisa maju di industri EV, meskipun nikel merupakan mineral utama bahan baku baterai. Dengan kurangnya teknologi, keterampilan, dan investasi, negara ini harus membangun impian terkait industri kendaraan listriknya dari awal sekali.

Upaya untuk memasukkan produksi nikel Indonesia ke jaringan rantai pasok Amerika Serikat menemui kendala. Lalu, upaya besar meningkatkan peleburan nikel dalam begeri telah membahayakan lingkungan serta mengakibatkan kecelakaan kerja di Sulawesi dan Maluku. Ledakan yang terjadi baru-baru ini di fasilitas smelter di Morowali, Sulawesi Tengah, yang makan korban hingga 19 orang tewas, hanyalah salah satu contoh bahwa industri tersebut sedang dilanda masalah.

Mungkin karena itu, pemerintah beralih jalur dengan mendorong investasi di bidang manufaktur mobil. Bidang ini dinilai bisa merangsang industri hilir sekaligus memperluas pasar dalam negeri.

Baru-baru ini, pemerintah mengeluarkan satu keputusan untuk mengubah peraturan pemerintah tahun 2019. Inti keputusan baru adalah menambah insentif bagi produsen mobil yang membangun pabrik kendaraan listrik di Indonesia.

Dalam aturan baru tersebut, dikatakan bahwa produsen mobil yang setuju untuk membangun fasilitas manufakturnya di Indonesia akan diperbolehkan mengimpor kendaraan listrik full built-up (CBU) atau completely knock down (CKD) tanpa harus membayar bea masuk atau pajak pertambahan nilai barang mewah ( PPN). Aturan ini berlaku hingga akhir 2025.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Pemerintah juga telah melonggarkan persyaratan kandungan lokal. Produsen mobil listrik diberi waktu hingga tahun 2026 untuk memenuhi persyaratan menggunakan komponen yang bersumber dari dalam negeri minimal sebesar 40 persen. Kebijakan baru ini berhasil menarik investor. BYD dari Tiongkok dan Vinfast dari Vietnam telah menyatakan minatnya untuk membangun pabrik di Indonesia.

Aturan baru bukan berarti bebas masalah. Justru, peraturan tersebut akan memungkinkan adanya impor EV yang lebih murah tanpa adanya hubungan jelas dengan rantai produksi lokal dan sumber daya dometik.

General Manager BYD Asia Pasifik Liu Xeuliang mengatakan bahwa perusahaan akan membangun pabrik secara mandiri, tanpa mitra lokal. Perusahaan juga akan menggunakan rantai pasokan sendiri untuk mengamankan bahan produksi. Pendekatan ini mengikuti jejak produsen mobil Tiongkok lainnya, Wuling dan DFSK, yang juga menjalankan fasilitas manufaktur mereka tanpa mitra perakitan dalam negeri.

Pendekatan ini, meskipun bisa jadi berhasil mencapai tujuan utama ekosistem kendaraan listrik, berpotensi mengecilkan kemampuan manufaktur Indonesia. Jika kemampuan industri Indonesia tidak berkembang, pada akhirnya dapat menyebabkan negara ini semakin bergantung pada mobil listrik impor, termasuk terkait fasilitas pemeliharaan dan sistem daur ulang.

Tidak semua produsen mobil Tiongkok mengambil pendekatan serupa. Neta dan Chery bekerja sama dengan mitra lokal untuk memproduksi mobilnya di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa pekerja lokal sudah bisa memproduksi mobil. Beberapa pabrikan lokal juga sudah memproduksi sepeda motor listrik menggunakan merek mereka sendiri.

Insentif baru pemerintah bagai upaya putus asa untuk mencapai impian soal industri kendaraan listrik Indonesia.

Insentif ini muncul setelah sebelumnya pemerintah meluncurkan subsidi untuk pembelian mobil listrik dan sepeda motor listrik. Kebijakan itu dikritik sebagai subsidi yang salah sasaran karena pasar kendaraan listrik adalah kelas menengah, sementara subsidi seharusnya untuk masyarakat miskin.

Program subsidi ini juga dilaporkan menemui kendala karena ternyata tidak banyak menarik masyarakat. Harga mobil listrik dan sepeda motor listrik masih terlalu tinggi bagi sebagian besar rakyat Indonesia, bahkan setelah adanya subsidi.

Di tengah upaya-upaya yang tidak menentu untuk membangun ekosistem kendaraan listrik di negara ini, akan lebih baik jika pemerintah menimbang lagi, apa saja yang berhasil dan apa yang tidak. Kemudian, pemerintah harus fokus hanya pada yang berhasil saja. Pasalnya, kendala yang dihadapi pemerintah dalam mengembangkan ekosistem kendaraan listrik bukanlah hal mengejutkan. Bagaimana pun, Roma tidak dibangun dalam satu hari. Hal semacam membangun ekosistem kendaraan listrik tidak bisa diciptakan secara instan.

Yang perlu kita lakukan adalah mengambil pelajaran dari kegagalan yang sudah terlihat.

Degradasi lingkungan mungkin tidak dapat diubah lagi. Dan akan lebih banyak orang yang menjadi korban jika pemerintah menolak menangani masalah lingkungan hidup di industri hulu, misalnya dalam produksi nikel.

Di sisi hilir, arus impor yang besar juga dapat menimbulkan masalah lingkungan karena tidak adanya fasilitas pemeliharaan dan daur ulang yang baik. Dan di tengah memburuknya lalu lintas Jakarta serta kota-kota besar lainnya, meskipun kendaraan listrik ini tidak menimbulkan polusi, masyarakat masih akan menanggung kerugian akibat kehilangan waktu jika terjebak di tengah kemacetan.

Daripada mendukung industri kendaraan listrik, kini saatnya pemerintah mendorong lebih banyak investasi pada transportasi umum. Indonesiahanya memiliki jaringan angkutan cepat massal (mass rapid transit atau MRT) di Jakarta. Berbeda dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya yang sudah membangun lebih banyak jalur transportasi massal.

Kalaupun pemerintah ingin mewujudkan transisi energi di sektor transportasi, solusinya mungkin bukan menggunakan kendaraan listrik, tetapi dengan membangun jaringan transportasi umum yang ramah lingkungan.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.