TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Debat tak bermutu soal pangan

Pemerintah tidak pernah secara konsisten menerapkan strategi ketahanan pangan komprehensif yang dituangkan dalam UU Pangan tahun 2012.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Wed, January 24, 2024

Share This Article

Change Size

Debat tak bermutu soal pangan Quenched hectares: A farmer plows his rice field in Bulungcangkring village, Kudus regency, Central Java, on Sept. 26, 2023. Farmers in the village planted rice on 700 hectares of land despite an ongoing drought, thanks to water from the nearby Logung dam. (Antara/Yusuf Nugroho)
Read in English
Indonesia Decides

Pangan dan energi, dua sumber daya yang penting bagi stabilitas nasional, masuk dalam daftar topik debat wakil presiden kedua yang diselenggarakan pada Minggu 21 Januari.

Namun ajang adu gagasan terkait isu pangan yang terjadi ternyata tidak memberikan pencerahan. Debat berlalu tanpa pembahasan bermakna tentang permasalahan mendasar ketahanan pangan nasional.

Hal itu terjadi, terutama karena pertanyaan tunggal dari topik yang dipilih untuk didiskusikan, yaitu tentang turunnya produksi pangan akibat perubahan iklim, hanya menjawab sebagian kecil dari aneka permasalahan swasembada pangan.

Pertanyaan yang diajukan gagal memicu debat berbobot terkait strategi yang lebih luas, buah pikiran para kandidat wakil presiden mengenai ketahanan pangan. Memang kebijakan tentang hal itu telah luput dari perhatian selama dua dekade terakhir.

Tentu saja tidak ada yang berharap akan mendengar rincian kebijakan yang sangat teknis dari para kandidat, tetapi debat keempat kemarin mestinya, paling tidak, memberi kesempatan kepada para calon wakil presiden untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat. Mereka seharusnya menjelaskan strategi yang lebih umum untuk meningkatkan ketahanan pangan.

Perekonomian kita sebagian besar masih bergantung pada sektor pertanian. Namun, bahkan di akhir masa jabatan Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang kedua, kita masih menjadi pengimpor beras terbesar di dunia. Kita juga masih menjadi pengimpor utama kedelai, gula, bawang putih, jagung, daging sapi, dan buah-buahan. Padahal dalam kampanye Pemilihan Umum 2014, Jokowi berjanji  untuk mencapai swasembada pangan nasional pada masa jabatan pertamanya.

Kenyataannya adalah, ketahanan pangan tidak pernah menjadi bagian integral dari program pembangunan pertanian kita, yang dirancang untuk meningkatkan kondisi perekonomian petani dan masyarakat pedesaan melalui kemajuan infrastruktur dan teknologi pertanian.

Pemerintah tidak pernah secara konsisten menerapkan strategi ketahanan pangan komprehensif yang dituangkan dalam UU Pangan tahun 2012. Strategi ini berfokus pada upaya swasembada lima komoditas strategis, yaitu beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Namun, kebijakan pemerintah telah lama mengutamakan beras, mengingat peran beras dalam pola makan umum masyarakat Indonesia. Beras dan makanan yang berasal dari beras mencakup sekitar 5 persen dari keseluruhan barang konsumsi yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menilai indeks harga konsumen. Karena itu pula, swasembada produksi beras dalam negeri selalu dianggap sebagai barometer ketahanan pangan secara keseluruhan.

Namun fokus pada beras dan makanan pokok lainnya berarti bahwa kecukupan kalori menjadi tujuan ketahanan pangan secara de facto, dan bukan kecukupan nutrisi. Dengan kata lain, fokus pada beras melemahkan tujuan utama dari upaya mewujudkan ketahanan pangan, yaitu menaikkan tingkat gizi masyarakat guna mempertahankan kehidupan yang sehat. Tingginya harga dan terbatasnya ketersediaan buah-buahan, sayur mayur, daging, dan susu telah menghambat penerapan pola makan yang lebih bergizi dan beragam. Makanan yang kita produksi belum mengikuti perubahan pola makan dan pergeseran preferensi, apalagi mengikuti standar ilmu gizi, terutama di perkotaan.

Sensus Pertanian tahun 2023 menemukan bahwa proporsi rumah tangga di Pulau Jawa yang mengelola lahan pertanian seluas kurang dari 0,2 hektar meningkat selama sepuluh tahun terakhir. Akibatnya, naik pula jumlah rumah tangga petani yang aksesnya terhadap lahan pertanian terbatas, sebesar 2,64 juta rumah tangga (18,54 persen). Pada 2013, angkanya 14,25 juta rumah tangga, pada 2023 menjadi sekitar 16,89 juta rumah tangga. Hal ini berarti sekitar 61 persen rumah tangga petani di Indonesia mengelola lahan yang luasnya kurang dari 0,5 hektar. Di Pulau Jawa, yang merupakan jantung produksi beras, proporsinya bahkan lebih buruk lagi, yaitu lebih dari 80 persen.

Pendekatan ketahanan pangan kita harus diperluas untuk memenuhi kebutuhan negara yang terus berkembang, juga untuk mencapai visi komprehensif yang tertuang dalam Undang-Undang Pangan. Agenda yang tepat adalah dengan beralih dari swasembada beras dan swasembada komoditas strategis lainnya menuju pertimbangan yang lebih seimbang mengenai ketersediaan pangan, keterjangkauan, kandungan gizi, dan kualitas komoditas bagi semua orang, terutama bagi masyarakat termiskin di Indonesia.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.