TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Gerakan moral

Ketika pemimpin suatu negara tidak segan-segan menunjukkan ambiguitas moralnya, bagaimana kita dapat mengharapkan pemerintahannya menjaga standar moral yang lebih tinggi?

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Wed, February 7, 2024

Share This Article

Change Size

Gerakan moral A group of lecturers, alumni and students of Gadjah Mada University (UGM) gather at the university campus on Jan. 31, 2024, to express their concern about President Joko “Jokowi” Widodo’s intervention in the election process, which they say is a threat to democracy. (Kompas)
Read in English
Indonesia Decides

Selama seminggu terakhir, kita telah menyaksikan gelombang kritik baru terhadap pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan para elit politik. Kritik disampaikan di aula kampus lembaga pendidikan serta pusat intelektual dari seluruh nusantara.

Puluhan universitas dan institusi pendidikan tinggi yang diwakili oleh ratusan profesor, dosen, aktivis mahasiswa, dan alumni, angkat bicara mengenai perlunya penguasa negara kembali ke jalur demokrasi.

Banyak di antara mereka yang menggarisbawahi pentingnya pemilu yang adil dan jujur, serta keharusan adanya tata kelola pemerintahan yang baik untuk demokrasi yang sehat. Sementara itu, ada juga yang mengingatkan agar Jokowi tetap berada di “jalurnya” menjelang pemilihan presiden minggu depan. Bagaimana pun, Jokowi tidak bisa ikut serta dalam pemilihan umum untuk ketiga kalinya.

Mungkin sudah tepat dan sepantasnya bahwa ekspresi duka dan kecewa publik tersebut dimulai di Universitas Gadjah Mada (UGM), almamater Jokowi.

Dalam surat terbuka yang dikenal sebagai Petisi Bulaksumur, para akademisi di universitas tersebut menyesali tindakan “menyimpang” yang dilakukan oleh anggota keluarga UGM yang terhormat. Bulaksumur mengacu pada kawasan lokasi kampus UGM. Petisi Bulaksumur ditujukan kepada Jokowi dan kelompok penguasa.

“Bukannya menjalankan kewajiban berbakti kepada almamaternya dengan menjunjung tinggi Pancasila dan berupaya mewujudkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, tindakan Presiden Jokowi malah menunjukkan penyimpangan terhadap prinsip dan moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial,” kata Koentjoro, Guru Besar Psikologi UGM yang membacakan petisi tersebut di Yogyakarta pada 31 Januari.

Sejak saat itu, kampus-kampus dan lembaga-lembaga akademis lainnya ikut menyuarakan keluhan mereka mengenai kerusakan moral dan terkikisnya budaya demokrasi. Mereka juga mengungkit sikap keberpihakan yang dilakukan terang-terangan, dan penggunaan sumber daya negara yang tidak bertanggung jawab demi keuntungan politik.

Meskipun Istana Kepresidenan mengabaikan peringatan tersebut dan hanya menganggapnya sebagai keributan yang wajar terjadi menjelang pemilu, sesungguhnya peringatan tersebut tidak muncul begitu saja di masa-masa berakhirnya musim kampanye.

Sebaliknya, pendapat mereka hadir sangat tepat waktu.

Selama berbulan-bulan – bahkan bertahun-tahun – para akademisi lokal menyuarakan keprihatinan mereka mengenai pemilu tanpa terang-terangan, tidak frontal layaknya aktivis prodemokrasi. Sikap itu diambil sebagai tanda bahwa otoritas moral mereka yang terbatas di hadapan rezim. Terlebih rezim yang cenderung tampil diam dan meredam perbedaan pendapat.

Ajang debat calon presiden yang dilaksanan pada Minggu, 4 Februari, hanya memperjelas kekurangan dalam sektor pendidikan tinggi kita, termasuk ketergantungannya yang berlebihan pada laju kapitalisme negara.

Namun bagi banyak pihak, keputusan Mahkamah Konstitusi pada Oktober, yang membuka jalan bagi putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk mencalonkan diri bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai calon wakil presiden adalah hal terakhir yang membongkar batas kesabaran. Tidak ada alasan bagi para akademisi untuk tidak mengambil sikap.

Ketika pemimpin suatu negara tidak segan-segan menunjukkan ambiguitas moralnya, bagaimana kita dapat mengharapkan pemerintahannya menjaga standar moral yang lebih tinggi?

Begitulah, “pemberontakan intelektual” yang baru-baru ini muncul, hadir sebagai pengingat akan peran kampus dalam gerakan reformasi yang menggulingkan Soeharto pada 1998.

Bahkan di bawah rezim yang jelas-jelas otoriter, kampus pada saat itu merupakan sumber yang menghidupkan pemikiran revolusioner. Mereka mengusung suara rakyat, tetapi juga membawa akal sehat. Aktivis mahasiswa saat itu membantu Indonesia mencapai jalan menuju demokrasi yang lebih baik dalam dekade berikutnya.

Pada masa Orde Baru, adalah kampus-kampus dan mahasiswa yang mendorong tekanan untuk mengakhiri korupsi, kolusi, dan nepotisme. Merekalah yang mendorong terwujudnya demokrasi yang telah kita peroleh dengan susah payah.

Saat ini, kita sudah sampai pada titik 25 tahun setelah gejolak 1998. Bisa jadi saat ini kampus-kampus sekali lagi bangkit melawan pemerintah karena alasan yang sama dengan pergolakan 1998.

Banyak dari lembaga-lembaga ini memperingatkan akan adanya konsekuensi besar jika Indonesia semakin menyimpang dari demokrasi.

Semua terserah pada Jokowi, apakah akan mengindahkan atau mengabaikan seruan para akademisi tersebut.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.