Jakarta akan tetap menjadi pusat bisnis dan perdagangan yang strategis ketika ibu kota dipindahkan ke Kalimantan Timur, itulah sebabnya para elit politik berniat mempertahankan kendali mereka atas kota Jakarta.
asyarakat Jakarta harus melawan segala upaya yang menghalangi hak melakukan pemilihan langsung dalam memilih pemimpin mereka. Jika tidak, kota metropolitan ini akan kehilangan semangat dan budaya demokrasi yang mengakar.
DPR dan pemerintah kini tengah membahas rancangan undang-undang tentang Daerah Khusus Jakarta. Pembahasan RUU telah memicu kontroversi karena penerapan kembali praktik Orde Baru yang memberikan mandat kepada presiden untuk memilih gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Mekanisme seperti ini merupakan sebuah anakronisme dalam lanskap demokrasi di Indonesia, karena sejak 2005 masyarakat memilih gubernur, walikota, dan bupati secara langsung. Bahkan, masyarakat juga memilih presiden dan wakil presiden melalui sistem satu orang satu suara.
DPR menginisiasi RUU pengganti UU Jakarta tahun 2007 karena ibu kota akan dipindahkan ke Kalimantan Timur. DPR mengesahkan revisi Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) pada Oktober tahun lalu, yang berarti presiden baru tidak dapat mengabaikan proyek pemindahan ibu kota yang lekat sebagai rencana Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Pasal 10 ayat 2 RUU Daerah Khusus Jakarta menyebutkan bahwa gubernur dan wakil gubernur Jakarta diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
Memang benar, sebagai daerah khusus ibu kota, Jakarta tidak menikmati demokrasi yang “penuh” seperti provinsi lain. Meskipun kota ini dijalankan oleh gubernur terpilih, yang berada di bawah pengawasan dewan kota, masyarakatnya tidak memilih walikota atau anggota dewan legislatif di tingkat kabupaten. Kelima walikota dan satu bupati di Jakarta diangkat oleh gubernur.
Pada masa Orde Baru, para pemimpin daerah, termasuk gubernur Jakarta, dipilih oleh dewan legislatif daerah. Namun, tetap Presiden Soeharto yang memutuskan. Dalam kasus Jakarta, gubernurnya haruslah orang kepercayaan Soeharto dan berlatar belakang militer.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan bahwa pemerintah menolak ketentuan mengenai gubernur Jakarta. Ia tegaskan, pemilihan langsung gubernur dan wakil gubernur Jakarta seperti yang berlaku saat ini harus tetap dipertahankan.
Warga Jakarta tidak boleh menerima saja janji tersebut, meskipun datangnya dari Presiden Jokowi. Selama beberapa tahun terakhir, kita toh telah melihat Presiden mengingkari janjinya, atau mengalihkan beban ke DPR jika mengambil kebijakan yang tidak populer.
Menjelang pemilu 14 Februari, Jokowi berjanji untuk tetap netral dan memberikan kesetaraan bagi semua kandidat presiden. Namun kemudian, ia secara terbuka mengatakan bahwa ia dan pejabat publik lainnya punya hak untuk memihak.
Sebelumnya, karena adanya penolakan dari masyarakat, pemerintahan Jokowi enggan mendukung amandemen yang kontroversial terkait Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan UU Kesehatan. Ia lalu melemparkan tanggung jawab tersebut ke DPR.
Belum lama ini, juga terjadi pembicaraan antara pemerintah dan DPR untuk membatalkan pemilihan kepala daerah secara langsung. Alasan yang diutarakan adalah bahwa sistem tersebut hanya membuang-buang uang dan tenaga.
DPR saat ini diperkirakan akan mengesahkan RUU Daerah Khusus Jakarta sebelum masa jabatannya berakhir pada 1 Oktober. Ketua DPR Puan Maharani berjanji akan sepenuhnya bekerja sama dengan pemerintah untuk mengesahkan RUU tersebut menjadi undang-undang.
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN juga menghapus status Jakarta sebagai ibu kota pada bulan lalu. Namun, berdasarkan Pasal 39 UU IKN, Jakarta tetap menjadi ibu kota sampai ada keputusan presiden tentang relokasi tersebut. Masa transisi akan memberi pemerintah cukup waktu untuk menegakkan undang-undang baru di Jakarta.
Jakarta akan tetap menjadi pusat bisnis dan perdagangan yang strategis setelah ibu kota dipindahkan ke Kalimantan Timur. Karena itulah, para elit politik berniat mempertahankan kendali mereka atas kota tersebut. Atas dasar pemikiran tersebut, masyarakat Jakarta harus bersuara selantang mungkin untuk menentang rencana apa pun yang dilakukan oleh kelompok politik yang ingin menghapuskan semangat demokrasi dari Jakarta. Rakyat, bukan pemerintah pusat, punya hak untuk memilih pemimpin mereka.
Masyarakat Jakarta harus melakukan segala yang diperlukan untuk memastikan suara mereka didengar. Mereka tidak bisa membiarkan siapa pun, baik presiden atau politisi, merampas hak konstitusional dan demokrasi mereka.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.