Perlu satu desa untuk membesarkan seorang anak. Bagi kita semua, akan lebih baik jika para ayah meluangkan lebih banyak waktu serta usaha untuk menjadi orang tua, terutama pada tahap penting, di masa awal pascakelahiran.
ekan lalu, pemerintah mengumumkan rencana untuk memperpanjang cuti bagi para ayah untuk mendampingi istri pascapersalinan. Rencana itu ada adalam rancangan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), yang baru-baru ini disahkan. Pemerintah hendak membawa perubahan besar dalam proses rekrutmen sekaligus menaikkan kesejahteraan pegawai negeri.
Pengumuman tersebut, disertai janji adanya pembahasan mengenai cuti untuk ayah dalam rancangan undang-undang kesejahteraan ibu dan anak (KIA), memberi harapan bahwa kesenjangan gender dalam angkatan kerja dapat dipersempit secara signifikan.
Kami menyambut baik rencana perpanjangan cuti orang tua. Namun, kami berharap perkembangan baru ini tidak mengalihkan perhatian dari isu-isu lain dalam UU ASN, terutama aturan yang sedang dipertimbangkan, yaitu yang akan memungkinkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk kembali berkiprah di kehidupan sipil.
Bagaimana pun, sebagian besar argumentasi yang menuntut cuti ayah yang lebih panjang adalah masuk akal. Cuti akan memberi kesempatan pada para ayah yang bekerja kantoran untuk menjalin ikatan dengan bayi mereka yang baru lahir. Mereka juga dapat membantu istri mereka yang sedang dalam masa pemulihan. Berdua, ayah dan ibu dapat mengembangkan keterampilan penting dalam mengasuh anak dan mempersiapkan diri menghadapi masa-masa kurang tidur yang tak terelakkan.
Aturan tentang cuti menjadi lebih penting dalam hal cuti berbayar. Peraturan akan mendorong para ayah untuk mengambil lebih banyak tanggung jawab dalam membesarkan anak, tanpa harus khawatir bahwa cuti panjang berdampak terhadap karier mereka.
Sayangnya, jika dilihat dari penjabarannya dalam hukum di Indonesia, cuti ayah pada umumnya masih dianggap sebagai formalitas. Cuti untuk ayah dilihat sebagai konsekuensi dari kewajiban yang harus dilakukan pemberi upah. Bahkan, yang lebih buruk lagi, cuti ayah dinilai sebagai hal tabu secara gender normatif.
Berdasarkan UU Ketenagakerjaan tahun 2003, pengusaha wajib membayar upah dua hari, bagi pekerja yang mengambil cuti untuk menemani istrinya saat melahirkan atau keguguran.
Hal itu merupakan alasan yang menyedihkan untuk mengambil cuti ayah, dan semakin menegaskan pesan terkait peran perempuan dan laki-laki dalam menjadi orang tua. Sementara itu, para ayah di negara tetangga di Asia Tenggara, yaitu Myanmar dan Singapura, mempunyai hak cuti ayah yang wajib secara hukum selama dua minggu. Memang, secara keseluruhan, kinerja seluruh wilayah dalam hal implementasi kebijakan cuti ayah masih belum baik.
Dua hari tidak ada artinya jika dibandingkan dengan ketentuan dalam undang-undang yang sama bagi pekerja perempuan, yang memberi hak cuti melahirkan selama tiga bulan, atau setengahnya jika terjadi keguguran. Jumlah tersebut pun masih di bawah ketentuan cuti orang tua selama 14 minggu yang ditetapkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO).
Ayah baru yang bekerja di bidang pelayanan publik mungkin akan mendapatkan hasil yang lebih baik karena adanya mekanisme Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang memungkinkan mereka mengambil cuti ayah hingga 30 hari. Cuti bisa diambil jika ada pernyataan dari pihak fasilitas perawatan. Jangka waktu ini dapat diperpanjang hingga 40 hari jika peraturan baru diberlakukan.
Data mengenai akses terhadap cuti ayah memang masih langka. Jelas ada faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Namun, kurangnya hak cuti yang dibayar mungkin menjadi salah satu alasan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas mengatakan bahwa para ayah di Indonesia biasanya kembali bekerja penuh waktu dalam lima hari setelah kelahiran anak mereka.
Ada pepatah lama, bahwa cibutuhkan satu desa untuk membesarkan seorang anak. Kita semua akan lebih baik jika para ayah meluangkan lebih banyak waktu dan usaha untuk menjadi orang tua, terutama pada tahap penting, di masa awal pascakelahiran.
Adanya insiden pilot yang kurang tidur hingga membahayakan perjalanan udara baru-baru ini, mungkin telah membantu meyakinkan masyarakat akan pentingnya memastikan istirahat yang cukup dan adanya waktu bersama keluarga. Begitu pun, cuti ayah masih dipandang sebagai sebuah keuntungan, dan bukan hak.
Seharusnya, cuti harus menjadi hak dasar secara umum, yang dapat dinikmati oleh semua orang tua baru, bukan hanya pegawai negeri sipil. Di zaman yang menyebabkan semakin banyak keluarga inti yang kedua orang tua sama-sama berfungsi sebagai pencari nafkah, kita harus merancang peraturan yang tidak membeda-bedakan. Dari sisi sektor, tidak berbeda apakah publik atau swasta, formal atau informal. Begitu pun dari sisi gender, tidak boleh berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Di luar implikasi biaya tenaga kerja atau ketakutan terjadinya pemutusan kontrak di tengah kehamilan dan – amit-amit – adanya para ayah yang tak bisa diandalkan, cuti orang tua yang memadai adalah hak yang seharusnya kita terima tanpa syarat.
Dan jika para pengambil kebijakan benar-benar memperhatikan, tidak perlu ada proyek percontohan atau penantian panjang. Presiden bisa memberlakukan peraturan tersebut secepatnya. Bisa saja langsung efektif esok hari.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.