Kita boleh bangga pada nilai-nilai yang telah lama menjadi ciri masyarakat. Namun, apa yang dilakukan pemerintah dengan Tapera merupakan penyalahgunaan prinsip.
ukan tugas pemerintah untuk menyuruh kita menabung agar dapat membeli rumah. Kita, karyawan dan pekerja, tahu apa yang terbaik bagi diri kita, dan dapat memutuskan nasib kita sendiri.
Program Tapera yang baru direvisi akan memaksa para pekerja di Indonesia untuk menyisihkan sebagian dari gaji bulanan mereka demi punya rumah di masa depan. Karyawan diperbolehkan menarik dana yang terkumpul untuk membeli, membangun atau merenovasi rumah.
Bukan salah masyarakat Indonesia jika sebagian besar dari mereka tidak mampu membeli rumah. Pemerintah tahu betul bahwa pasar perumahan yang diprivatisasi sudah rusak. Mereka paham bahwa peran pembuat kebijakan sangat sedikit dalam menjadikan kepemilikan rumah menjadi terjangkau bagi masyarakat yang berpenghasilan rata-rata.
Perumahan yang harganya dianggap terjangkau di Indonesia, biasanya berlokasi jauh dari pusat kota. Akhirnya, lokasi mengharuskan banyak orang menempuh perjalanan jauh jika hendak berkegiatan. Seringkali, digunakan kendaraan pribadi sebagai alat transportasi. Akibatnya, hanya memperburuk kemacetan yang melanda Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Di zaman ini, banyak orang yang sudah berubah pikiran. Mereka tidak merasa perlu berkeras mewujudkan gagasan memiliki rumah, dan memilih opsi yang lebih pragmatis, yaitu menyewa rumah.
Sebagian lainnya, terutama kaum milenial, mungkin lebih memutuskan untuk memperbanyak bepergian. Mereka dapat beraktivitas atau bekerja dari jarak jauh dengan mengandalkan internet, dan sama sekali tidak peduli pada tekanan untuk menetap secara permanen.
Peraturan yang mengurus Tapera tidak merinci apakah kebijakan tersebut akan mencakup jenis perumahan vertikal seperti apartemen. Banyak orang menganggap apartemen sebagai solusi menjanjikan terhadap masalah lahan. Keterbatasan lahan pula yang telah mendorong kawasan pemukiman semakin menjauh dari pusat kota.
Pemerintah dan BP Tapera, lembaga yang bertanggung jawab mengelola dana perumahan tersebut, mengatakan bahwa niat mereka adalah agar masyarakat berpenghasilan tinggi membantu saudara mereka yang berpenghasilan rendah. Hal itu sejalan dengan standar nilai nasional yang disebut gotong royong.
Kita berbangga dengan nilai-nilai yang telah lama menjadi ciri masyarakat kita. Namun, yang dilakukan pemerintah dengan Tapera merupakan penyalahgunaan prinsip. Pemerintah seharusnya masih memikul tanggung jawab untuk berupaya memenuhi kebutuhan warganya atas perumahan, sesuai anggaran saat ini.
Indonesia bukanlah negara kaya yang mampu mengalokasikan dana dalam jumlah besar untuk membiayai program jaminan sosial yang luas. Namun, pemerintah selalu punya pilihan untuk membelanjakan uangnya dengan bijak. Pemerintah harus memprioritaskan kebutuhan masyarakat dibandingkan mengakomodasi keserakahan segelintir elit dan birokrat yang korup.
Pada 2023, pemerintah hanya menghabiskan Rp30,38 triliun ($1,87 miliar dolar Amerika) untuk subsidi perumahan. Pada saat yang sama, Indonesia mengucurkan dana dua kali lipat untuk pengadaan peralatan militer. Hal ini menunjukkan bahwa perumahan rakyat bukanlah prioritas utama.
Program tabungan wajib juga berlaku bagi ekspatriat yang telah bekerja selama lebih dari enam bulan di Indonesia. Padahal undang-undang di negara ini secara tegas melarang orang asing memiliki property. Dengan begitu, kebijakan ini tampak tidak tepat sasaran.
Begitu pula dengan karyawan yang sudah memiliki rumah. Dalam program Tapera, mereka tetap harus menyisihkan iuran bulanan.
Peraturan tersebut juga memungkinkan pemerintah menyasar pekerja lepas yang tidak menerima gaji tetap. Masih harus dilihat waktu dan cara yang digunakan pemerintah dalam mengumpulkan kontribusi dari mereka.
Kini, baik pengusaha maupun pekerja telah bersatu untuk menentang program Tapera. Sebuah respon yang memang masuk akal.
Program Tapera hanya akan menambah beban penerima upah. Selama ini, gaji bulanan pegawai sudah dipotong untuk asuransi kesehatan dan tunjangan pensiun. Ironisnya, tunjangan pensiun juga punya program yang membantu pegawai memenuhi kebutuhan perumahan.
Ketika pemerintah menghadapi defisit anggaran, bisa jadi pemerintah merencanakan pajak gaji lebih banyak di masa depan. Pajak itu dapat dialokasikan untuk pendidikan atau mungkin perlindungan lingkungan. Siapa tahu?
Meskipun Tapera sudah ada sejak 2020, Kementerian Ketenagakerjaan belum mengeluarkan peraturan pelaksanaan untuk mulai menarik iuran bulanan. Artinya, program ini masih belum jelas.
Mungkin lebih baik kita lupakan saja program ini seutuhnya.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.