Media sosial, meski ada kekurangannya, juga memberi ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapat. Seringkali, pendapat di media sosial dapat mendorong perubahan kebijakan publik.
i negara demokrasi, media sosial adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, media sosial dilihat sebagai ladang berita palsu. Ujaran kebencian di media sosial juga seringkali memicu aksi kekerasan atau bahkan pemberontakan, seperti yang terjadi di Amerika Serikat pada 6 Januari 2020. Di sisi lain, media sosial dapat mengendalikan pemerintah yang cenderung represif.
Hal terakhir itulah, mengendalikan pemerintah, yang terlihat jelas di Indonesia. Negara ini mengalami kemunduran dalam hal demokrasi, yang telah dicapai dengan susah payah dalam beberapa tahun terakhir. Saat minimnya konsultasi publik menjadi hal yang dianggap lumrah oleh para pembuat kebijakan dan lembaga-lembaga yang berkuasa, sebuah kondisi yang sebetulnya mereka normalisasi, media sosial muncul sebagai pahlawannya.
Baru-baru ini, sejumlah kebijakan pemerintah yang kontroversial dicabut atau direvisi, sebagai respons terhadap penolakan masyarakat yang menyebar melalui media sosial. Kita juga harus berterima kasih kepada media sosial karena dua tahun lalu telah mengungkap kebenaran di balik pembunuhan ajudan Polri. Sang ajudan ternyata tewas di tangan atasannya, seorang jenderal polisi. Dan pengguna media sosial kini sedang menantang narasi polisi dalam kasus pembunuhan di Cirebon, Jawa Barat. Kasus itu terjadi delapan tahun lalu, dan muncul kembali setelah sebuah film yang mencoba menggambarkan kejahatan tersebut tayang di bioskop.
Memang benar bahwa media sosial, meskipun punya kekurangan, memberi ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapat, yang dapat mendorong perubahan kebijakan publik.
Namun, pemerintah baru-baru ini memperbarui rencana untuk membentuk dewan yang memantau konten media sosial. Dalihnya, pemerintah ingin memastikan tata kelola media sosial yang lebih akuntabel di tengah maraknya misinformasi dan ujaran kebencian.
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menggarisbawahi pentingnya adanya dewan untuk menengahi perselisihan yang terjadi di media sosial. Ia menyarankan bahwa dewan tersebut dapat terdiri dari akademisi, jurnalis, pakar industri, dan tokoh masyarakat.
Sejauh mana dewan akan bekerja dan apa yang dimaksud dengan konten media sosial yang berbahaya masih belum jelas.
Rencana pembentukan dewan tersebut mengkhawatirkan karena muncul di tengah pembahasan DPR mengenai perubahan UU Penyiaran dan UU Kepolisian. Isi UU Penyiaran, antara lain, dapat semakin membatasi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers, khususnya di media sosial. Sementara jika revisi UU Kepolisian disahkan, akan memberikan kewenangan luas kepada polisi atas aktivitas dunia maya, termasuk memblokir akses internet demi alasan keamanan.
Pemerintah telah berulang kali berupaya mengekang kebebasan berpendapat dan membungkam kritik melalui tuntutan pidana dan tindakan yang berkedok “keamanan” lainnya. Kita masih ingat pemadaman internet di Papua dan Papua Barat ketika ketegangan meningkat akibat protes terhadap rasisme pada 2019. Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta kemudian memutuskan bahwa penutupan internet melanggar hukum.
Faktanya, pemerintah dan anggota parlemen cenderung menolak partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan. Hal itu memberi kita alasan lain untuk meragukan cara pemerintah menyusun rencana pembentukan dewan media sosial.
Para aktivis demokrasi khawatir bahwa dewan tersebut akan membuka jalan bagi tindakan pemerintah yang berlebihan. Lebih jauh, dewan dapat melakukan pengawasan massal terhadap ruang publik yang sudah menyusut di negara ini.
Tahun lalu, ketika mengusulkan pembentukan dewan media sosial independen, Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet, mengatakan bahwa dewan tersebut dapat membantu mengatasi dampak negatif media sosial. Jaringan yang menaruh perhatian pada kebebasan berekspresi itu berpandangan bahwa dewan akan memoderasi konten berbahaya apa pun di platform media sosial.
Dapat dimengerti jika SAFEnet menentang rencana pemerintah untuk membentuk dewan media sosialnya sendiri, karena mencurigai bahwa lembaga tersebut hanya akan melayani kepentingan kelompok politik tertentu.
Moderasi konten perlu diatur, tetapi bukan berarti pemerintah berhak menerapkan sensor atau pengawasan massal terhadap media sosial. Dewan media sosial harus independen dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Tahun lalu, UNESCO mengeluarkan pedoman cara mengatur platform media sosial. Organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan PBB tersebut berupaya melindungi kebebasan berekspresi dan akses terhadap informasi melalui pendekatan multipihak. Pedoman UNESCO juga melindungi masyarakat dari misinformasi dan disinformasi, serta ujaran kebencian.
Media sosial seharusnya memberi kita, masyarakat sipil, kekuatan untuk mengawasi pemerintah, bukan sebaliknya.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.