Saat kita sampai di titik jenuh, jadi masuk akal untuk mengurangi jam kerja, asal ada peningkatan produktivitas kinerja per jam, sehingga hasil kerja tetap sama.
ementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pasti punya alasan tertentu, saat menerapkan uji coba empat hari kerja dalam seminggu. Uji coba itu dimulai pada Senin 10 Juni lalu.
Sayangnya, masih ada batasan-batasan untuk skema yang berlaku bagi pegawai kementerian hingga tingkat direktur ini. Batasan itu, misalnya, seorang pegawai hanya boleh mengambil libur pada Jumat sebanyak dua kali dalam sebulan. Yang lebih penting, pegawai hanya boleh libur di hari Jumat setelah bekerja selama 40 jam dari Senin hingga Kamis.
Karena itu, meski langkah memberlakukan empat hari kerja dalam seminggu menjadi penghematan waktu, asal tidak kena macet di jalan, bagi pegawai yang memenuhi syarat, bukan berarti serta merta mengurangi jam kerja.
Menteri BUMN Erick Thohir menjelaskan, “jadwal kerja yang lebih padat” tidak boleh mendorong terjadinya “kemalasan”. Ia sangat ingin menghindari kesan bahwa pegawai perusahaan pemerintah hanya duduk santai sementara kita semua bekerja keras.
Dapat dipahami jika seorang politisi memunculkan sikap defensif semacam itu. Namun di sisi lain, uji coba terbatas dalam waktu singkat tidak akan mampu menjawab lanjutan: apa benar kita semua harus bekerja lebih sebentar?
Ini waktu yang tepat untuk memikirkan kembali masalah jam kerja, tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia.
Menurut Erick, kerja empat hari seminggu bertujuan meningkatkan kesehatan karyawan. Pasalnya, masalah kesehatan mental mempengaruhi 70 persen populasi generasi muda. Meskipun angkanya bervariasi, banyak survei menunjukkan peningkatan prevalensi kelelahan kerja, serta masalah lain dalam hal kesehatan mental terkait pekerjaan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa karyawan dapat lebih produktif dengan bekerja lebih sebentar. Penelitian lain menunjukkan bahwa kepuasan pekerja yang lebih besar di tempat kerja akan membantu organisasi mempertahankan para staf.
Sebagian besar dari kita dapat merasakan kerja empat hari dalam seminggu berkat banyaknya hari libur nasional di bulan Mei. Senin 17 Juni menjadi salah satunya. Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita tidak menikmatinya.
Namun, selain kesejahteraan psikis karyawan, ada alasan lain mengapa kita harus berdebat masalah jam kerja ini, yaitu kaitannya dengan efisiensi yang makin besar.
Mesin modern, prosedur bisnis yang berkembang, dan munculnya kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) sangat meningkatkan produktivitas seseorang. Kita melihat pabrik-pabrik otomotif dengan robot-robot yang mengilap, nyaris tidak ada manusia di situ. Lalu ada drone melayang di atas ladang, tanpa ada petani di sekitarnya. Kemudian, ada program komputer yang memprogram program computer lain.
Kemajuan teknologi yang tiada henti berarti kinerja tiap karyawan terus meningkat. Jika hal-hal lainnya tetap konstan, artinya ada peningkatan hasil ekonomi terus-menerus bagi masyarakat dan dunia pada umumnya.
Banyak yang telah menulis tentang bahayanya hal tersebut, dan juga tentang batasan-batasan pertumbuhan berkelanjutan. Namun, secara sederhana, intinya adalah: siapa konsumen hasil produksi tersebut? Bagaimana kita mengangani sampah akibat produksi yang demikian intens? Apakah hal tersebut membuat kita lebih bahagia?
Kalau kita tidak dapat mengkonsumsi lebih banyak, kita tidak seharusnya memproduksi lebih banyak lagi. Saat kita sudah sampai di titik jenuh, mengurangi jam kerja jadi masuk akal, asal dengan meningkatkan produktivitas kinerja per jam, sehingga hasil kerja tetap konstan.
Dengan bekerja lebih sebentar dengan ritme yang melambat, umat manusia akan mendapatkan waktu yang berharga untuk menghadapi dampak ekologis dari peningkatan kapasitas industri.
Pekan kerja yang lebih singkat akan memberi waktu luang untuk lebih dekat dengan keluarga, adat istiadat, hobi, dan kegiatan sukarela. Bahkan, bisa saja waktu luang digunakan untuk mengerjakan pekerjaan tambahan, bagi mereka yang butuh penghasilan lebih. Bagi sebagian besar umat Islam di Indonesia, libur pada hari Jumat akan menjadi hal yang sangat menarik.
Dapat dimengerti jika Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tampaknya kurang mendukung gagasan pemangkasan waktu kerja tersebut. Alasannya karena pemberlakuan jam kerja yang lebih pendek secara nasional tidak akan diterima dengan baik oleh investor.
Alasan itu pula yang menyebabkan tidak ada satu negara pun, apalagi negara berkembang seperti Indonesia, yang dapat memilih langkah semacam ini seorang diri. Pemangkasan waktu kerja perlu dilakukan, setidaknya pada skala regional seperti di ASEAN. Namun, lebih baik lagi jika dilakukan di tingkat global.
Apakah hal tersebut realistis saat ini? Mungkin tidak, mengingat negara-negara di dunia bahkan sulit bersepakat pada isu-isu yang lebih sederhana.
Meski begitu, kita harus terus memperdebatkan soal jam kerja lebih pendek, yang akan jadi isu yang semakin mendesak di Indonesia, kawasan ini, dan seluruh dunia.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.