Desas-desus tentang perombakan kabinet marak, setelah Jokowi mengumpulkan para pemimpin partai politik, kecuali PDI-P, dan mengemukakan gagasan untuk pada Juni ini mengganti menteri yang tidak mendukung programnya.
onstitusi memberi presiden hak prerogratif untuk mengganti anggota kabinet kapan saja. Penggantian terutama dilakukan jika para menteri tersebut dinilai gagal melaksanakan atau tidak mengikuti kebijakan dan arahan kepala pemerintahan. Presiden Joko “Jokowi” Widodo juga punya hak tersebut. Meski begitu, banyak yang menganggap perombakan Kabinet Indonesia Maju tidak diperlukan lagi mengingat Presiden akan habis masa jabatannya empat bulan lagi.
Desas-desus tentang perombakan kabinet marak setelah Jokowi mengumpulkan para pemimpin partai politik yang mendukung pemerintahannya, kecuali Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), pada akhir bulan lalu. Saat itu, Presiden dilaporkan mengemukakan gagasan untuk pada Juni ini mengganti menteri-menteri yang tidak mendukung program pemerintahannya. Namun, para pemimpin partai menyarankan agar Jokowi menahan diri. Mereka mencegah Presiden untuk tidak melakukan perombakan kabinet, dengan alasan bahwa masa jabatannya akan segera berakhir.
Jokowi membantah pemberitaan mengenai perombakan kabinet. Namun, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Ari Setiadi, yang juga memimpin kelompok relawan terbesar Jokowi, Projo, yakin bahwa Presiden tidak mengesampingkan opsi perombakan kabinet tersebut.
Seolah ingin unjuk gigi menegaskan diri sebagai pemegang kendali pemerintahan, dalam beberapa bulan terakhir ini Jokowi mungkin merasa harus melakukan perubahan pada kabinetnya. Langkah itu ia ambil saat meyakini bahwa beberapa menteri tidak sependapat dengannya. Ia mungkin harus mengganti anggota kabinet yang tidak berkomitmen penuh terhadap kepemimpinannya, jika tidak, mereka akan mempersulit upayanya meninggalkan warisan abadi.
Jokowi seharusnya tak segan-segan memecat menteri yang mendahulukan kepentingan diri sendiri, atau kelompoknya, di atas program negara. Yang paling penting bagi presiden yang akan segera mengakhiri jabatan ini adalah keberlanjutan program-programnya, ketika pemerintahan diserahkan kepada presiden terpilih Prabowo Subianto dan wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka pada 20 Oktober.
Setelah situasi politik mulai mereda usai pemilihan presiden dan pemlihan legislatif yang berlangsung sengit pada 14 Februari lalu, Jokowi harus memastikan bahwa ia menjalankan pemerintahan yang efektif. Efektivitas itu tidak mungkin terjadi tanpa dukungan seluruh kabinetnya selama empat bulan mendatang.
Sejak menjabat pada Oktober 2014, Jokowi telah 11 kali melakukan perombakan kabinet, termasuk perombakan kecil-kecilan. Pergantian kabinet terbaru terjadi setelah pemilu 14 Februari, ketika Jokowi mengangkat Hadi Tjahjanto sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, menggantikan Mahfud MD. Mahfud mengundurkan diri karena mencalonkan diri dalam pemilihan presiden, sebagai pasangan Ganjar Pranowo. Jokowi juga menunjuk Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum Partai Demokrat, untuk menggantikan Hadi sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang.
Masalahnya, seperti dugaan banyak orang, Jokowi mungkin memanfaatkan peluang perombakan kabinet hanya untuk menyingkirkan menteri-menteri dari PDI-P, partai yang mendukung Jokowi menjadi presiden pada 2014. Jokowi dan PDI-P berpisah sebelum Pemilu 14 Februari. Presiden memilih untuk mendukung Prabowo dan Gibran, putra sulungnya, dan tidak mendukung pasangan calon dari PDI-P, Ganjar dan Mahfud.
Ada tujuh anggota PDI-P di kabinet yang beranggotakan 34 orang tersebut. Mereka adalah Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Koperasi Teten Masduki, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Azwar Anas, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan I Gusti Ayu Bintang Darmawati.
Di jajaran pejabat tinggi, terdapat Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan yang terkait dengan PDI-P.
Ketegangan hubungan antara Jokowi dan PDI-P belum kunjung pulih. Bisa jadi hubungan ini akan semakin buruk jika Jokowi memecat menteri dari partai tersebut. Meskipun secara resmi masih berada dalam koalisi yang berkuasa, PDI-P menonjol sebagai pengkritik keras pemerintah. Partai tersebut enggan mundur dari pemerintahan, sebelum Jokowi mengeluarkannya.
Memang, belum ada tanda-tanda bahwa kebuntuan politik telah mengganggu pemerintahan. Jokowi misalnya, masih mempercayai Menteri Basuki untuk mengambil alih Otoritas Ibu Kota Nusantara (IKN).
Artinya, keputusan Jokowi untuk merombak kabinet, jika ada, harus didasarkan pada prestasi, dan bukan dendam pribadi.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.