Cara ASEAN menahan diri untuk tidak mengomentari pertemuan antara Putin dan Kim yang terjadi baru-baru ini berhasil meredam potensi kesalahpahaman dan tidak memperparah ketegangan.
esepuluh anggota ASEAN, dan kelompok yang berafiliasi dengan himpunan tersebut, mengambil sikap yang tepat, dengan menahan diri untuk tidak menanggapi pertemuan antara Presiden Rusia Vladimir Putin dan pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong-un. Hal itu berhasil menghindarkan kesalahpahaman yang tidak perlu yang dapat meningkatkan ketegangan regional. Amerika Serikat dan sekutu militernya di Asia, Jepang dan Korea Selatan, mengecam keras pertemuan tersebut.
Dinamika di kawasan ini sangat kompleks. Negara-negara Asia Timur merupakan mitra paling strategis bagi ASEAN dalam hal ekonomi, keamanan, dan pertahanan. Para pemimpin di kawasan ini cenderung berupaya memahami tindakan putus asa Putin dan Kim, yang menghadapi isolasi dari komunitas internasional.
ASEAN akan punya kesempatan mendapat informasi langsung dari berbagai pihak mengenai pertemuan antarpemimpin negara tersebut saat menjadi tuan rumah Forum Regional ASEAN (ARF). Acara tahunan tersebut akan dilaksanakan di Vientiane pada 27 Juli mendatang. Secara internasional, ARF telah diakui sebagai salah satu forum paling kuat di dunia, terutama terkait situasi terkini di Asia Timur dan Laut Cina Selatan.
ARF mempertemukan 10 negara anggota ASEAN dan 10 mitra dialognya, yaitu AS, Tiongkok, Jepang, Kanada, India, Korea Selatan, Rusia, Selandia Baru, Inggris, dan Uni Eropa. Negara-negara lain di kawasan seperti Papua Nugini, Mongolia, Korea Utara, Pakistan, Timor-Leste, Bangladesh, dan Sri Lanka bertindak sebagai pengamat.
Forum yang akan datang ini akan memberi kesempatan kepada Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi untuk berbicara pada sejawatnya, baik dari Rusia atau dari Korea Utara, meski Korea Utara jarang menghadiri ARF sebelumnya. Bagaimana pun, forum ini merupakan tempat yang tepat untuk membahas situasi terkini di Asia Timur, termasuk konflik dan ketegangan yang terjadi antara beberapa pihak.
Dalam sebuah pernyataan bersama, Putin dan Kim mengakui bahwa masing-masing mereka akan memberi "semua bantuan militer dan beragam bantuan lain yang tersedia, jika ada negara yang menghadapi agresi bersenjata". Pernyataan tersebut secara efektif menghidupkan kembali klausul keterlibatan militer otomatis dalam perjanjian 1961. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Korea Utara dan Uni Soviet, berlaku hingga 1996. Namun, itu toh hanya sebuah dokumen.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo punya hubungan personal yang baik dengan Putin, tetapi belum pernah bertemu langsung dengan Kim. Hubungan antara Jakarta dan Pyongyang telah terjaga baik, meski lebih pada bidang politik, dan bukan ekonomi.
Negara-negara Asia Tenggara sengaja menjauhkan diri dari isu-isu sensitif seperti pertemuan antara Putin dan Kim. Bagaimana pun, kelompok regional tersebut telah membangun hubungan baik dengan Moskow dan Pyongyang. Para pemimpin ASEAN juga menyadari bahwa perjanjian terbaru di antara Rusia dan Korea Utara dimotivasi oleh kepentingan jangka pendek. Putin butuh senjata untuk melanjutkan perangnya di Ukraina. Ia juga perlu jaminan Kim atas pasokan minyak untuk Rusia, serta bantuan teknologi tinggi untuk mengembangkan senjata nuklirnya.
Pertemuan antarpemimpin negara tersebut persis suasana Perang Dingin di Semenanjung Korea pada 1950-an, yaitu saat Amerika Serikat dan sekutunya mengecam pertemuan tersebut.
Secara resmi, Tiongkok bungkam terkait pertemuan dua sekutu terdekatnya itu. Namun, sebuah surat kabar yang dikuasai pemerintah menggambarkan pertemuan antara Putin dan Kim, serta kesepakatan yang dihasilkan, sebagai “pilihan rasional”. Surat kabar tersebut membandingkan pertemuan kedua pemimpin dengan pakta militer trilateral antara Washington, Tokyo, dan Seoul. Pada Mei lalu, Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol menjadi tuan rumah pertemuan trilateral dengan Perdana Menteri Tiongkok Li Qiang dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida.
Seperti yang diperkirakan, media Barat mengolok-olok pertemuan Putin dan Kim sebagai pertemuan dua pemimpin negara paria. Namun, mereka juga menyebutnya sebagai peristiwa yang sangat berbahaya, terutama bagi stabilitas di Asia Timur.
ASEAN sudah sepatutnya memilih tetap diam, meskipun dampak pertemuan berpotensi membahayakan beberapa mitra dialognya di Asia Timur. Pemerintahan Biden dilaporkan mencoba mendorong ASEAN agar bereaksi terhadap pertemuan Pyongyang. Namun, bujukan Biden tak membuahkan hasil, karena negara-negara Asia Tenggara tidak ingin terlibat dalam ketegangan antarkekuatan besar.
Tidak mau terlibat dalam masalah hubungan dua negara itu hanya akan memperumit konflik. Kuncinya: deeskalasi. Sikap ASEAN sejauh ini merupakan kebijakan terbaik untuk menghindari kesalahpahaman yang tidak perlu. Di masa krisis seperti ini, ARF menjadi kegiatan yang sangat kita harapkan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.