TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Membuktikan kata Sri Paus

Negara sering kali mengobarkan api intoleransi melalui peraturan yang saling bertentangan.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Sat, September 14, 2024 Published on Sep. 13, 2024 Published on 2024-09-13T15:28:43+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Membuktikan kata Sri Paus Grand Imam Nasaruddin Umar (left) greets Pope Francis with a handshake and “nose kiss” as they prepare to take a family photo with other religious leaders following an interreligious meeting on Sept. 5, 2024 at Istiqlal Mosque in Sawah Besar, Central Jakarta. (AFP/Aditya Aji/Pool)
Read in English

I

ndonesia patut gembira bahwa selama tiga hari kunjungan di pekan lalu, Paus Fransiskus memuji kerukunan antarumat beragama yang telah diupayakan untuk dilestarikan sejak awal kemerdekaan. Hal itu tergambar lewat Katedral Jakarta dan Masjid Istiqlal yang telah berdiri berdampingan selama puluhan tahun. Ditambah lagi adanya Terowongan Silaturahmi, yang dibangun pada 2020-2021. Jalur bawah tanah itu memungkinkan akses yang lebih mudah antara kedua rumah ibadah tersebut.

Kamis lalu, dalam kunjungannya ke Masjid Istiqlal, yang merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara, Paus mengucapkan selamat kepada Indonesia. Menurutnya, negara ini telah memiliki "ruang untuk berdialog dan menciptakan rasa saling menghormati di antara berbagai agama". Ia mengacu pada enam agama yang diakui secara resmi yaitu Buddha, Katolik, Konghucu, Hindu, Islam, dan Protestan.

Negara ini juga merupakan rumah bagi beberapa kepercayaan minoritas, seperti Sunda Wiwitan di Jawa Barat dan Parmalim di Sumatera Utara, serta Bahaisme dari Iran, juga Yudaisme dari Kanaan kuno.

Namun, pujian Paus menimbulkan pertanyaan. Betulkah rasa saling menghormati dipraktikkan di Indonesia saat ini, yang sebagian besar penduduknya beragama Islam?

Meskipun kita sangat berharap kerukunan antarumat beragama benar-benar terwujud di seluruh pelosok negeri, kita tentu tidak boleh menutup mata terhadap ekstremisme, intoleransi, dan diskriminasi agama di masa lalu. Sebut saja kebijakan wajib mengenakan jilbab, pembubaran acara keagamaan, pembongkaran rumah ibadah, pengeboman Bali 2002, dan pengeboman gereja Surabaya 2018.

Selain itu, agama sering kali dipolitisasi, terutama di tahun pemilihan umum. Tindakan itu semakin memperuncing perpecahan di negara kita yang majemuk ini.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Sebagai kepala negara Kota Vatikan dan pemimpin 1,3 miliar umat Katolik di seluruh dunia, Paus Fransiskus pasti sangat menyadari kenyataan yang tidak mengenakkan tersebut. Namun, ia tetap memilih untuk menyoroti kerukunan antaragama di Indonesia.

Sangat mungkin bahwa keputusan untuk fokus pada kerukuna tidak muncul begitu saja. Paus berusia 87 tahun itu tentu mengetahui potensi Indonesia dalam memimpin upaya membangun perdamaian dunia. Bagaimanapun, dua organisasi Muslim terbesar di negara ini, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, telah berusaha keras mempromosikan wasathiyah atau moderasi beragama, serta bahwa dan Islam adalah rahmatan lil alamin atau pemberi berkah yang universal.

Karena itu, kita harus berusaha keras untuk membuktikan kebenaran pendapat Paus.

Yang menjadi masalah dengan intoleransi atau ekstremisme agama di Indonesia adalah kenyataan bahwa pemicunya sering kali berupa peraturan pemerintah yang kejam, baik di tingkat nasional maupun regional.

Misalnya, keputusan Pemerintah Kabupaten Bantul, Yogyakarta, pada 2019 untuk mencabut izin operasional Gereja Pantekosta Indonesia Immanuel Sedayu. Izin dicabut setelah warga Kecamatan Sedayu melakukan protes.

Keputusan ini diambil tiga tahun setelah Peraturan Bupati Bantul No. 98/2016 untuk melaksanakan keputusan bersama menteri yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri. Aturan tersebut mewajibkan proyek pembangunan rumah ibadah harus memperoleh persetujuan dari sedikitnya 60 warga setempat dan 90 jemaat, di antara persyaratan lainnya.

Jemaat Immanuel Sedayu yang dibangun pada 2003 telah hidup berdampingan secara harmonis dengan para pemeluk agama lain di kabupaten tersebut. Mereka menjalankan “kebebasan memeluk agama masing-masing dan beribadah sesuai dengan agamanya” yang dijamin oleh konstitusi.

Namun, negara mengakhiri lingkungan yang damai dan toleran yang telah terjalin selama bertahun-tahun tersebut, dengan mengeluarkan peraturan yang bermasalah dan juga melanggar konstitusi.

Dalam laporan tahunan terbarunya, Setara Institute for Democracy and Peace mencatat bahwa “penyusupan ke rumah ibadah” masih mendominasi pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Yang lebih mengkhawatirkan, data menunjukkan bahwa jumlah insiden semacam itu telah meningkat selama empat tahun terakhir. Pada 2020, terdapat 24 kasus, lalu naik menjadi 44 pada 2021, kemudian bertambah lagi menjadi 50 pada 2022, dan tahun lalu menjadi 65 kasus.

Meskipun demikian, belum terlambat bagi Indonesia untuk menebus kesalahan. Caranya dapat melalui langkah-langkah yang bertujuan untuk secara signifikan mengurangi insiden intoleransi agama. Pada akhirnya, kita buktikan bahwa persepsi Paus tentang kerukunan antarumat beragama di Indonesia adalah benar adanya.

Sebagai awal, negara dapat mencabut peraturan bersama yang bermasalah, yaitu peraturan terkait rumah ibadah itu.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.