Prabowo telah menjelaskan bahwa ia akan terlibat langsung dalam kegiatan terkait kebijakan luar negeri. Karena itu, ia butuh menteri yang sangat memahami visi dan ambisinya, serta punya kapasitas menangani urusan regional dan global.
enunjukan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi baru-baru ini sebagai utusan khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertanggung jawab untuk masalah air, membuktikan pengakuan tidak hanya atas kecakapan diplomatik sang menteri, tetapi juga untuk peran Indonesia yang semakin besar di panggung global.
Namun, peran internasional tersebut juga memastikan bahwa Retno tidak akan lagi memimpin diplomasi Indonesia, setelah presiden terpilih Prabowo Subianto mengambil alih jabatan dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada 20 Oktober. Hal ini juga berlaku bagi pendahulu Retno, Marty Natalegawa. Ia menduduki beberapa jabatan di PBB, termasuk sebagai anggota Dewan Penasihat Tingkat Tinggi Sekretaris Jenderal PBB untuk Mediasi, setelah menyelesaikan masa tugasnya selama lima tahun pada 2014.
Tidak mengherankan jika muncul spekulasi tentang sosok yang akan ditunjuk Prabowo sebagai diplomat utamanya. Publik dan komunitas diplomatik sama-sama penasaran. Semua menunggu apakah Prabowo akan memilih diplomat karier atau seseorang dari luar departemen sebagai menteri luar negerinya.
Presiden Indonesia cenderung memilih diplomat karier untuk jabatan menteri luar negeri. Hal itu sangat wajar. Retno, yang telah lama menjabat sebagai diplomat utama Presiden Jokowi, adalah diplomat karier, begitu pula Marty, juga pendahulunya Hassan Wirajuda.
Jokowi telah mempercayakan Retno untuk menjalankan urusan diplomatik negara sehari-hari, dan tampak puas dengan kinerjanya.
Dalam 10 tahun terakhir, meskipun Jokowi kurang tertarik pada isu-isu internasional, berkat Retno, Indonesia telah membuat terobosan diplomatik luar biasa. Keberhasilan Indonesia termasuk menjadi tuan rumah KTT G20 di Bali pada 2022 dan KTT ASEAN di Jakarta pada 2023. Indonesia juga secara konsisten membela Palestina di forum internasional dan menjaga netralitas yang seimbang ketika berhadapan dengan negara-negara besar, di tengah persaingan atau perseteruan mereka.
Prabowo menginginkan jenis diplomasi yang berbeda karena ia siap untuk memaksimalkan posisi Indonesia sebagai poros tengah utama. Diplomasi Indonesia tidak lagi fokus pada keuntungan ekonomi semata, tetapi akan meluas ke urusan pertahanan dan keamanan. Karena itu, Prabowo membutuhkan menteri luar negeri yang sangat mengenalnya, sekaligus punya jejaring internasional yang luas.
Tidak seperti Jokowi, Prabowo akan menjadi presiden yang terlibat langsung dalam diplomasi luar negeri. Hal itu telah ditunjukkannya melalui serangkaian perjalanan ke luar negeri, segera setelah ia menang dalam pemilihan presiden Februari lalu.
Sebagai presiden, Prabowo punya hak prerogatif untuk memilih anggota kabinetnya, termasuk menteri luar negerinya. Sang menteri harus tahu syarat-syarat memimpin Kementerian Luar Negeri, yang lebih kompleks daripada jabatan lain. Kinerjanya melibatkan pengetahuan diplomasi mendalam serta karakter personal.
Apa pun latar belakang menteri luar negeri yang baru, ia harus memiliki kapasitas untuk mengelola urusan internal kementerian, sehingga dapat menghindari resistensi dari dalam yang tidak perlu.
Dalam memilih menterinya, Prabowo harus mengakomodasi aspirasi dan kepentingan anggota koalisinya. Karena itu, kombinasi antara teknokrat dan politisi akan menjadi pilihan terbaik.
Beberapa nama telah disebut-sebut untuk menggantikan Retno, mulai dari diplomat karier hingga politisi. Karena Prabowo telah menjelaskan bahwa ia akan terlibat langsung dalam kegiatan kebijakan luar negeri, ia membutuhkan seorang menteri yang sangat memahami visi dan ambisinya, serta memiliki kapasitas untuk menangani urusan regional dan global.
Keputusan yang salah akan menghancurkan pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia. Meskipun diplomat karier sering menjadi pilihan untuk memimpin Kementerian Luar Negeri, pengangkatan orang luar terbukti tidak selalu berakhir buruk.
Mochtar Kusumaatmadja, seorang profesor hukum, menjabat sebagai menteri luar negeri selama dua periode dari 1978 hingga 1988. Selama masa jabatannya, ia memperkenalkan konsep “negara kepulauan” untuk menggambarkan Indonesia. Konsep tersebut kemudian diakui oleh PBB melalui Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) pada 1982.
Dapat dikatakan bahwa Prabowo harus ekstra hati-hati dalam memilih menteri luar negerinya. Tidak masalah apakah kandidat tersebut berasal dari dalam lingkup Kementerian Luar Negeri atau dari partai politik, asalkan Prabowo menetapkan kriteria yang sangat jelas untuk jabatan tersebut.
Retno telah melakukan yang terbaik bagi negara ini. Kini, Indonesia menanti era baru. Prabowo diharapkan dapat membawa negara ini ke tingkat yang lebih tinggi. Semoga orang terbaiklah yang memimpin korps diplomatik negara ini.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.