Menerima relokasi sementara sebagian warga Palestina akan menjadi isyarat yang menunjukkan bahwa Indonesia bersedia menepati janjinya.
Gencatan senjata di Gaza, meskipun terlihat genting, menyuguhkan kesempatan langka bagi Indonesia untuk berperan lebih besar dalam upaya mencari solusi damai yang berkelanjutan di konflik Israel-Palestina. Hal itu menjadi lebih besar dari keberhasilan yang telah kita capai sejauh ini, yang sebagian besar terbatas pada seruan dan dukungan terhadap resolusi di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kita tidak hanya berbicara tentang pengiriman pasokan bantuan, termasuk makanan, medis, dan bahan bangunan untuk jutaan warga Palestina yang mengungsi akibat perang di Gaza. Kita tidak hanya berbicara tentang tawaran untuk mengirim pasukan penjaga perdamaian di bawah mandat PBB. Kita seharusnya sudah melakukan semua itu, dan kita telah melakukannya, hingga titik tertentu.
Saat ini kita berbicara tentang Indonesia yang mulai mengukir peran dalam proses perdamaian itu sendiri. Sebagai negara dengan kekuatan menengah yang sedang berkembang, Indonesia punya mandat dan rekam jejak sebagai pembawa perdamaian. Sekarang, di bawah Presiden Prabowo Subianto, kita memiliki pemimpin yang tidak akan segan mengambil tanggung jawab global yang lebih besar. Kita harus menguji kebijakan luar negeri kita yang "bebas dan aktif".
Tentu saja, di minggu-minggu mendatang, yang jadi prioritas adalah agar kedua belah pihak yang berkonflik, yaitu pemerintah Israel dan Hamas, melaksanakan ketentuan perjanjian gencatan senjata. Ketentuan termasuk pengembalian sandera dan tahanan, membiarkan pasokan makanan dan bantuan lainnya masuk ke Gaza, dan mengizinkan warga Palestina yang mengungsi untuk kembali ke rumah mereka.
Sekarang setelah ada tekanan kuat bagi kedua belah pihak untuk mematuhi ketentuan perjanjian, kita juga harus melihat apa yang selayaknya dilakukan setelah gencatan senjata.
Ada rekonstruksi besar-besaran di Gaza dan proses penyembuhan kembali di kedua belah pihak yang bertikai. Tetapi di luar hal itu, kita harus melihat langkah untuk menyelesaikan konflik yang harus berlaku sekali untuk selamanya. Untuk saat ini, gagasan pendirian dua negara tetap menjadi satu-satunya solusi yang layak, meskipun banyak orang Israel dan Palestina kehilangan kepercayaan pada usulan tersebut.
Saat ini menjadi waktu yang tepat bagi Indonesia untuk menegaskan posisinya dalam proses perdamaian.
Gagasan Indonesia untuk menerima sebagian warga Palestina yang mengungsi di Gaza, untuk sementara waktu, ketika proses pembangunan kembali di Palestina sedang berlangsung tidaklah sekonyol yang dikatakan beberapa politisi. Nama Indonesia telah disebut sebagai salah satu negara yang dipertimbangkan menjadi lokasi relokasi sementara oleh Steve Witkoff, utusan khusus Amerika Serikat untuk Timur Tengah. Penyebutan tersebut memicu reaksi keras di Indonesia dan dunia Arab, yang dianggap sebagai upaya sinis untuk memaksa warga Palestina meninggalkan tanah mereka.
Tanpa perlu bicara politik, ada alasan kemanusiaan yang kuat untuk merelokasi sebagian, meskipun tidak semua, 2 juta warga Palestina di Gaza.
Pada Juni, Prabowo sebagai presiden terpilih telah menyatakan bahwa Indonesia siap menerima 1.000 warga Palestina yang membutuhkan perawatan medis. Indonesia juga siap menampung 1.000 anak Palestina yang trauma, untuk dirawat dan diberi pendidikan di negeri ini. Prabowo telah menyampaikan gagasan tersebut kepada para pemimpin Palestina yang ditemuinya di sebuah konferensi internasional tentang Gaza di Amman.
Jika tawaran itu masih berlaku, Indonesia perlu menegaskannya. Tawaran tersebut akan menjadi titik masuk bagi Indonesia untuk lebih terlibat dalam upaya perdamaian. Negara-negara besar lainnya telah mencoba dan gagal, selama hampir 80 tahun terakhir. Proses perdamaian di Timur Tengah membutuhkan ide dan inisiatif baru, dan mungkin perlu partisipasi dari negara yang berbeda. Indonesia berada pada posisi yang tepat untuk mengambil peran tersebut.
Memindahkan beberapa warga Palestina ke Indonesia untuk sementara waktu akan menjadi isyarat yang menunjukkan bahwa Indonesia bersedia membuktikan ucapan. Indonesia ingin berperan lebih aktif dalam proses perdamaian.
Indonesia dapat belajar dari Qatar, yang merundingkan perjanjian gencatan senjata. Mereka dapat menjadi mediator bahkan tanpa memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Kita semua paham bahwa sudah ada kontak informal antara Indonesia dan Israel, serta Hamas. Jadi tidak akan sulit bagi Indonesia untuk memulai komunikasi dengan kedua belah pihak yang berkonflik.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.