Rencana untuk membatasi media sosial bagi anak di bawah umur disambut baik oleh sebagian besar masyarakat, khususnya orang tua. Meski demikian, pihak berwenang harus menerapkan kebijakan tersebut dengan penuh kehati-hatian.
Psikolog sosial asal Amerika Jonathan Haidt memulai buku populernya The Anxious Generation dengan grafik yang menunjukkan kenaikan secara tiba-tiba, dan dalam jumlah yang sangat besar, atas gangguan depresi mayor di kalangan remaja setelah tahun 2010-an. Ia menyebutnya sebagai perioder "perubahan besar masa kanak-kanak".
Lebih lanjut, Haidt menjelaskan bahwa peningkatan pesat angka penggunaan media sosial serta telepon pintar selama periode tersebut, dikombinasikan dengan penurunan masa kanak-kanak berbasis permainan, telah membahayakan kesehatan mental anak-anak. Anak-anak di banyak negara barat mengalami kecemasan, depresi, dan ada kecenderungan menyakiti diri sendiri. Data Haidt menunjukkan bahwa yang paling terdampak adalah yang lahir setelah 1995.
Namun, fenomena ini tidak hanya terjadi di belahan dunia barat. Berbagai penelitian di Indonesia juga menyoroti dampak negatif media sosial terhadap anak-anak dan remaja.
Pada 2023, Indonesia National Adolescent Mental Health Survey menemukan bahwa sekitar 35 persen dari remaja di negara ini, yang jumlahnya lebih dari 15 juta, telah menghadapi masalah kesehatan mental.
Menurut salah satu peneliti, tingginya paparan konten negatif di media sosial, termasuk perundungan siber, turut menjadi penyebab masalah kesehatan mental tersebut.
Tidak mengherankan jika kini semakin banyak negara yang mempertimbangkan untuk membatasi penggunaan media sosial di kalangan generasi muda. Australia memimpin gerakan tersebut dengan mengesahkan undang-undang yang melarang media sosial bagi anak-anak di bawah 16 tahun, pada November lalu. Tak lama kemudian, pemerintah Indonesia mengumumkan rencananya untuk mengikuti jejak sang tetangga di belahan bumi selatan tersebut.
Tahun lalu, penetrasi internet di Indonesia yang berpenduduk 280 juta orang telah mencapai hampir 80 persen. Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menunjukkan bahwa hampir setengah dari anak-anak di bawah usia 12 tahun telah dapat mengakses internet.
Awal bulan ini, Presiden Prabowo Subianto memberi tenggat waktu dua bulan bagi Kementerian Komunikasi dan Digital untuk menyelesaikan pedoman sementara tentang perlindungan anak di ranah daring, sebagai batu loncatan menuju undang-undang nasional. Peraturan yang akan segera diberlakukan tersebut, antara lain, akan mencakup arahan untuk pengawasan dari orang tua dalam penggunaan internet, serta sanksi bagi perusahaan teknologi yang mengizinkan pengguna di bawah umur untuk mengakses platform media sosial mereka.
Rencana untuk membatasi media sosial di kalangan anak di bawah umur disambut baik oleh sebagian besar masyarakat, khususnya orang tua. Meski demikian, pihak berwenang harus menerapkan kebijakan yang segera hadir tersebut dengan sangat hati-hati. Proses verifikasi media sosial mungkin akan menjadi lebih ketat di masa mendatang, dengan pengguna diharuskan untuk menunjukkan kombinasi identitas yang berlaku dan informasi profil terperinci, serta data biometrik. Persyaratan ini rentan terhadap penyalahgunaan dan eksploitasi data.
Angka insiden serangan siber di Indonesia telah mengalami lonjakan dalam beberapa tahun terakhir. Pada Juni 2024, serangan ransomware besar menargetkan salah satu dari dua pusat data nasional sementara di negara ini. Akibatnya, terjadi gangguan nasional pada layanan publik yang terhubung dengan pusat data tersebut. Informasi pribadi milik jutaan orang Indonesia juga dilaporkan telah dicuri, dan kemudian dijual secara daring oleh para peretas.
Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi tahun 2022 mengamanatkan pembentukan badan pengawas perlindungan data untuk menjatuhkan sanksi kepada mereka yang mengumpulkan data masyarakat tetapi tidak menjaganya dengan baik. Tetapi, pemerintah bergerak sangat lambat dalam upaya membentuk badan tersebut. Sambil menunggu selesai dibuatnya regulasi perlindungan anak di ranah daring, ada baiknya pemerintah membentuk badan pengawas terlebih dahulu.
Selain itu, pembatasan media sosial tidak boleh menjadi satu-satunya solusi atas krisis kesehatan mental yang banyak dialami anak-anak di era digital. Faktanya, hal itu baru yang tampak di permukaan saja.
Dalam bukunya, Haidt menggarisbawahi bahwa sama seperti semua mamalia, manusia, dalam hal ini anak-anak, perlu bermain di luar ruangan untuk mengasah otak dan mempersiapkan diri menghadapi masa dewasa.
Pertanyaannya, apakah di Indonesia sudah tersedia cukup ruang terbuka yang aman dan memadai yang mewadahi naluri eksploratif anak-anak? Jawabannya mudah dan sederhana: tidak.
Meskipun ruang terbuka atau alam mungkin melimpah dan mudah diakses di daerah pedesaan di negara ini, hal itu tidak berlaku di kota-kota padat penduduk seperti Jakarta dan daerah penyangganya. Ambil contoh kota Tangerang Selatan di Banten. Di kota berpenduduk lebih dari 1,4 juta orang itu, hanya ada kurang dari 10 ruang terbuka gratis. Puluhan ruang terbuka lainnya berada di balik pagar, yang membuat orang tua terpaksa membayar jika ini anak-anaknya mendapat hiburan.
Jika pemerintah serius melindungi kesejahteraan generasi muda dengan membatasi akses mereka di dunia digital, pemerintah juga harus memikirkan cara untuk mendorong mereka agar aktif di dunia nyata. Salah satunya adalah dengan membangun fasilitas ramah anak yang mudah diakses.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.