Presiden harus berempati pada keluhan dan beban hidup yang dihadapi rakyat. Jika tidak, ketidakpuasan publik akan terus berlanjut.
Ini adalah Ramadan yang berbeda dari sebelumnya di Indonesia, negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.
Bulan puasa bagi umat Islam biasanya merupakan musim perayaan. Tapi, tahun ini Ramadan terasa suram di tengah kurangnya minat belanja masyarakat. Pusat perbelanjaan dan pasar tradisional tampak lebih sepi, bahkan sepekan sebelum Idul Fitri. Padahal, seminggu sebelum hari raya, para pekerja telah menerima tunjangan hari raya atau THR.
Pemerintah juga telah memperkirakan terjadinya penurunan jumlah pemudik yang signifikan. Tahun lalu, mereka yang melakukan perjalanan ke kampung halaman untuk kumpul keluarga selama Idul Fitri berjumlah 193,6 juta orang. Tahun ini, jumlahnya tinggal 146,5.
Suasana semakin suram dengan gejolak akibat penolakan publik terkait pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Proses pengesahan telah memicu protes yang meluas dan penuh kekerasan di banyak kota di seluruh negeri. Baru-baru ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), juga rupiah, anjlok ke posisi terendah sepanjang sejarah. Hal itu terjadi di tengah memudarnya kepercayaan pasar terhadap prospek ekonomi negara ini.
Ini adalah momen yang tepat bagi Presiden Prabowo Subianto untuk merenungkan segala yang telah ia lakukan dalam beberapa bulan pertama pemerintahannya. Dengan dukungan politik yang kuat dari koalisi yang berkuasa, serta optimisme masyarakat yang terjaga pada awal masa jabatan Prabowo, sungguh ironis bahwa negara ini sampai tiba di titik yang sekarang.
Presiden terlalu percaya diri berkat tingkat persetujuan yang tinggi, di atas 80 persen. Angka itu memang jauh melebihi pendahulunya, Joko “Jokowi” Widodo, pada hari-hari awal menjabat. Prabowo terlalu percaya pada yang dikatakan lembaga survei, hingga mengabaikan kebenaran yang tidak mengenakkan, yang terjadi di jalanan dan di pasar.
Ia menegaskan bahwa reaksi negatif dari publik bermula dari buruknya keterampilan komunikasi para menteri, dan bukan akibat kelemahan yang ada dalam kebijakannya. Ia juga berpendapat bahwa kebijakan dan programnya berskala besar. Karena itu, perlu waktu bagi publik untuk dapat melihat hasilnya. Program Prabowo, misalnya, makan bergizi gratis yang ditujukan untuk 80 juta anak dan ibu hamil, juga pembentukan lembaga pengelola investasi negara yang baru, Danantara.
Sebagai kambing hitam atas semua kesalahan yang terjadi di akhir pemerintahan rezim otoriter mantan ayah mertuanya, Soeharto, Prabowo tidak asing dengan penolakan dan sumpah serapah rakyat Indonesia. Ia juga telah menempuh perjalanan politik yang panjang, penuh penanda kekalahan dan penghinaan.
Ia mungkin mempertimbangkan satu atau dua masukan dari suara keras dan menganggap hambatan ekonomi yang terjadi bukan sesuatu yang berarti.
Namun dari semua orang, Prabowo, seorang mantan jenderal Angkatan Darat yang dikenal karena ekspresi patriotismenya yang bersemangat, harus menyadari bahwa ia tidak boleh berkonflik dengan orang-orang yang ia klaim sebagai tempatnya mengabdi. Ia juga harus menyadari bahwa tekad dan prinsip-prinsip nasionalisnya yang kuat tidak boleh terlalu agresif, hingga menghambat kesejahteraan ekonomi negara.
Seperti kebanyakan orang Indonesia, ini adalah waktu yang tepat bagi Prabowo dan pemerintahannya untuk tidak mengambil keputusan ekstrem. Ini juga saatnya menahan diri. Jika Presiden tidak dapat berempati pada keluhan dan beban hidup yang dialami rakyat, ketidakpuasan publik akan terus berlanjut. Kondisi akan semakin parah ketika tiba saat bagi kebijakan ekonominya yang buruk mulai menunjukkan dampak tidak baik.
Bagi umat Islam, Ramadan mengajarkan pengendalian diri dan kesahajaan, sebagai nilai-nilai inti dalam membangun hubungan baik antarmanusia. Juga dalam hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta.
Karena itulah, bulan suci ini merupakan ajang uji ketahanan terhadap godaan hawa nafsu. Umat Islam tidak hanya menahan diri dari keinginan makan dan minum di siang hari, tetapi mereka juga mengendalikan emosi dan memperkuat hubungan mereka dengan Tuhan.
Pada Idul Fitri, yang menandai berakhirnya Ramadan, umat muslim merayakan keberhasilan proses diri mereka kembali menjadi suci. Kami harap semua umat Islam dapat mencapai tujuan mereka, dan semoga Idul Fitri tahun ini menjadi hari yang menyenangkan, meskipun harus dirayakan secara sederhana.
Selamat Idul Fitri.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.