TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Melindungi insan media

Seolah-olah kondisi makin terbatasnya kebebasan pers di Indonesia belum cukup sulit bagi jurnalis, kini mereka juga harus menghadapi pertanyaan yang lebih mendasar, bahkan eksistensial, yaitu tentang apakah menjalankan jurnalisme merupakan mata pencaharian yang berkelanjutan.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Thu, May 8, 2025 Published on May. 7, 2025 Published on 2025-05-07T18:18:51+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Melindungi insan media A man uses a smartphone on August 17, 2024, at his electrical recycling workshop in Jakarta, while a television screen shows a live broadcast of Indonesia's 79th Independence Day celebrations from the future capital city Nusantara. (AFP/Yasuyoshi Chiba)
Read in English

 

Masa-masa sekarang memang saat sulit bagi semua orang yang bekerja di industri media.

Seolah-olah kondisi makin terbatasnya ruang gerak pers di Indonesia belum cukup sulit bagi jurnalis, kini mereka juga harus menghadapi pertanyaan yang lebih mendasar, jika bukan eksistensial, yaitu tentang apakah menjalankan jurnalisme bisa dijadikan mata pencaharian yang berkelanjutan.

Bagi jurnalis yang bekerja di industri media saat ini, pertanyaan paling mendasar bagi mereka adalah apakah perusahaan tempat mereka bekerja dapat terus memberi gaji, dengan makin sedikitnya pendapatan dari langganan dan pemasukan iklan.

Bagi perusahaan media sendiri, beberapa bulan terakhir ini situasi makin sulit dalam konteks pekerjaan. Bukan hanya karena pendapatan iklan kini turun drastis, tetapi juga karena pemotongan anggaran yang ditetapkan oleh Presiden Prabowo Subianto telah berdampak buruk pada laba bersih mereka.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Sudah bukan rahasia lagi bahwa ketika belanja iklan dari sektor swasta beralih ke media sosial, perusahaan media arus utama lalu menjadi bergantung pada belanja pemerintah, terkait hubungan masyarakat, agar dapat tetap bertahan.

Dalam beberapa bulan terakhir, “jalur penyelamat” dari bagian hubungan masyarakat kementerian dan pemerintahan itu tidak lagi tersedia. Akibatnya, perusahaan media, termasuk beberapa nama besar di industri media Indonesia, tidak punya pilihan selain membuat keputusan sulit untuk memberhentikan beberapa jurnalis mereka.

Saat ini, keadaan relatif telah stabil untuk media cetak dan media daring, setelah gelombang perampingan dan upaya efisiensi dilakukan lima tahun lalu. Tetapi, situasi sekarang jadi mengerikan bagi industri penyiaran.

Hampir semua nama besar di dunia televisi dan radio, dari Kompas TV dan iNews hingga radio milik negara RRI, dalam beberapa bulan terakhir melakukan perampingan dengan memberhentikan sebagian tenaga kerja mereka.

Optimisme bahwa industri televisi dapat mengatasi gangguan teknologi kini telah menguap. Dengan kondisi infrastruktur penyiaran yang saat ini satu per satu dilucuti, sulit untuk membayangkan bahwa industri televisi dan radio dapat pulih dari kehancuran yang terjadi sekarang. 

Migrasi massal pemirsa ke layanan streaming sebagai sarana untuk mengakses berita dan hiburan, ibarat paku terakhir di peti mati, yang menutup segalanya, bagi para pelaku industri penyiaran tradisional dan yang masih menggunakan gelombang radio.

Lagi pula, siapa yang bisa menyalahkan pemirsa karena mereka bermigrasi? Layanan streaming di YouTube atau Netflix menawarkan kemudahan dan beragam pilihan yang dapat dinikmati pemirsa dengan biaya sangat murah. Bahkan, jika Anda tidak terganggu dengan adanya iklan yang seliweran, produk streaming ini bisa gratis.

Demikian pula, jika pembaca dapat memperoleh informasi lebih cepat, lebih singkat, dan sesuai kebutuhan mereka dari platform seperti Google atau ChatGPT, apa yang membuat mereka mau repot-repot membayar langganan untuk mendapat berita dan opini dari outlet media lama?

Namun, di situlah letak masalahnya.

Semua perusahaan teknologi ini adalah raksasa kelas dunia yang tidak terbebani aturan dan regulasi. Satu-satunya modus operandi mereka, mengutip seorang raksasa teknologi, adalah "bergerak cepat dan memecahkan berbagai hal".

Faktanya, perusahaan media justru melakukan hal yang sebaliknya, semata-mata karena ada aturan dan regulasi yang memandu jurnalisme.

Bagi setiap jurnalis yang menulis berita tentang dugaan korupsi pemerintah, ada Kode Etik Jurnalisme dan Undang-Undang Pers 1999 yang akan memandu cara mereka mengerjakan tulisan berita itu. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip yang tercantum dalam aturan akan mengakibatkan Dewan Pers menjatuhkan putusan bersalah. Bagi media televisi dan radio, aturan dan regulasinya lebih kompleks, mulai dari Undang-Undang Penyiaran hingga Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dampak hukum maksimalnya berupa pencabutan izin dan denda hingga ribuan dolar.

Menganggap bahwa perusahaan media tradisional berada pada posisi yang setara dengan platform teknologi global adalah hal yang keliru.

Satu-satunya alasan perusahaan teknologi global ini mampu menyedot hampir 80 persen pendapatan iklan adalah karena mereka mengendalikan perangkat canggih yang tidak tersedia bagi perusahaan media tradisional, yang pekerjaan utamanya adalah jurnalisme.

Dan karena hadirnya keunggulan teknologi itu, perusahaan media tradisional kini terancam.

Pemerintah dapat melakukan sesuatu demi mengurangi kerugian. Jika ada satu tindakan afirmatif yang dapat diambil, adalah menyetarakan aturan untuk media, apakah cetak, elektronik, atau digital. Dengan begitu, semua punya kesempatan yang sama untuk dapat berhasil.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.