Setiap upaya untuk mendistorsi netralitas militer tidak saja membahayakan keamanan nasional, tetapi juga mengingkari semangat gerakan reformasi 27 tahun lalu.
Pekan lalu, terjadi serangkaian peristiwa yang, jika disatukan, menunjukkan adanya perebutan kekuasaan di antara para elit politik. Dan kejadian itu hanya berselang enam bulan sejak dimulainya pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Ada kesan ia merasa perlu memberi tahu publik bahwa dialah pemimpin yang sebenarnya dan dia bukan boneka pendahulunya, Joko "Jokowi" Widodo. Sikap ini bisa jadi mencerminkan kondisi sejati dari hubungan mereka, yang sejauh ini dipenuhi kegiatan saling mengunjungi yang akrab.
Namun, persaingan diam-diam, jika ada, tampaknya telah menyeret Militer Indonesia (TNI). Padahal, militer seharusnya tetap nonpartisan karena punya akses pada senjata. Setiap upaya untuk mendistorsi netralitas militer tidak saja membahayakan keamanan nasional, tetapi juga mengingkari semangat gerakan reformasi 27 tahun lalu. Gerakan reformasi itulah yang mengakhiri dwifungsi, atau peran ganda, TNI selama puluhan tahun dalam urusan pertahanan dan sosial politik.
Baru-baru ini, tanda-tanda adanya perebutan kekuasaan itu terungkap ketika Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, yang mengambil alih tongkat komando saat pemerintahan Jokowi, memutasi lebih dari 200 perwira tinggi. Di antara para perwira itu, terdapat nama Letnan Jenderal Kunto Arief Wibowo, putra mantan wakil presiden Try Sutrisno. Ia dimutasi menjadi staf khusus di Markas Besar (Mabes) TNI, dari sebelumnya sebagai Panglima Komando Daerah Pertahanan Gabungan Pertama (Pangkogabwilhan I), yang meliputi wilayah darat, air, dan udara dari Sumatera hingga Kalimantan.
Kunto digantikan oleh Laksamana Muda Hersan, mantan ajudan presiden (2014-2016) dan sekretaris militer presiden (2022-2023) pada masa pemerintahan Jokowi.
Perombakan besar di TNI ini terjadi hanya beberapa hari setelah puluhan purnawirawan yang tergabung dalam Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) menyerukan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi. Selain itu, mereka juga menuntut pemecatan anggota kabinet yang terkait dengan Jokowi dan pengembalian UUD 1945 yang asli. Try Sutrisno termasuk di antara mantan jenderal yang mendukung petisi tersebut. Tembusan petisi dikirimkan kepada Prabowo, yang juga seorang purnawirawan jenderal Angkatan Darat.
Namun, hanya dalam waktu 24 jam, Agus membatalkan mutasi Kunto dan beberapa perwira lainnya. Hal itu tentu saja memicu pertanyaan tentang proses pengambilan keputusan yang dilakukan TNI terkait mutasi tersebut. TNI punya ciri khas disiplin yang ketat. Organisasi mereka sangat solid. Karena itu, perubahan haluan yang mendadak semacam itu adalah hal yang tak terbayangkan dapat terjadi. Ada pula kesalahan penulisan dalam surat mutasi tersebut, yaitu memindahkan seorang laksamana muda ke Mabes Angkatan Darat. Akibatnya, terlalu naif untuk percaya bahwa tidak ada yang aneh di balik koreksi mutasi tersebut, selain "karena kebutuhan organisasi" seperti yang diklaim oleh TNI.
Pemindahan tugas yang kontroversial seperti itu bukan hal baru. Setelah Reformasi yang memaksa Soeharto lengser pada 1998, Panglima ABRI saat itu, Jenderal Wiranto, mengangkat Letnan Jenderal Johny Josephus Lumintang sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) yang baru. Johny menggantikan Prabowo, yang saat itu tercatat sebagai menantu Soeharto. Namun, setelah 17 jam, Johny digantikan oleh Mayjen Djamari Chaniago, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Militer Jawa Barat.
Tarik menarik kepentingan di dalam tubuh TNI, terutama di kalangan perwira tinggi, tidaklah mengejutkan. Peran strategis mereka membuat mereka rentan terhadap perebutan kekuasaan di antara para politisi. Faksionalisme di dalam tubuh TNI dapat dengan mudah dicermati melalui dikotomi antara kubu “hijau” dan “merah putih”, terutama di awal era reformasi.
Masalah ini memburuk setelah adanya revisi Undang-Undang TNI yang memungkinkan perwira tinggi militer menduduki jabatan di 15 lembaga sipil dan berpartisipasi dalam urusan pemerintahan. Di tengah kontroversi yang berkembang atas amandemen tersebut, pemerintahan Presiden Prabowo mengangkat Mayjen Novi Helmy Prasetya – seorang jenderal aktif – sebagai direktur baru Perum Bulog. Markas Besar TNI telah menyatakan bahwa pensiun Novi sedang diproses.
Tidak ada kekuatan eksternal yang dapat membuat presiden yang sedang menjabat atau panglima tertinggi TNI seperti Prabowo memutuskan sesuatu, termasuk dalam memilih perwira militer untuk jabatan strategis. Namun, kasus Kunto menunjukkan bahwa pengangkatan yang transparan berdasarkan sistem merit menjadi kunci untuk menghindari persaingan kekuasaan yang tidak perlu.
Bagaimanapun, prajurit TNI adalah bagian dari aparatur negara. Kesetiaan mereka seharusnya untuk negara, bukan pada pemimpin secara personal.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.