Alih-alih meminta bantuan Arab Saudi, pemerintah harus menyelesaikan semua masalah dalam negeri yang telah mengacaukan sistem penyelenggaraan haji di masa lalu.
Indonesia membuat gebrakan besar untuk musim haji tahun ini, seperti halnya tahun-tahun sebelumnya. Seraya melepas rombongan dari Indonesia, negara dengan jumlah jemaah haji terbanyak di dunia, Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini meresmikan terminal baru di Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang menawarkan jalur cepat proses keimigrasian Arab Saudi, demi kenyamanan para jemaah haji.
Untuk menyediakan fasilitas yang lebih baik bagi para jemaah haji, Prabowo juga telah meminta pemerintah Saudi untuk mendirikan semacam "perkampungan" khusus di Mekkah, bagi warga Indonesia. Menurutnya, permintaan itu telah mendapat tanggapan positif dari Putra Mahkota Arab Saudi Muhammad bin Salman. Presiden mengatakan bahwa Menteri Agama Nasaruddin Umar saat ini sedang mengerjakan rincian proposal dan akan segera terbang ke Arab Saudi untuk finalisasi kesepakatan.
Niat itu mungkin tampak tulus. Namun, apakah Indonesia, salah satu negara mayoritas muslim terbesar di dunia, berhak atas fasilitas eksklusif seperti itu di Arab Saudi? Yang lebih penting, apakah perkampungan tersebut akan meningkatkan layanan bagi para jamaah dan dapat diakses oleh setiap muslim Indonesia yang mampu berhaji?
Alih-alih berharap kepada Saudi untuk mendapatkan lebih banyak fasilitas, pemerintah harus menyelesaikan semua masalah dalam negeri yang berulang kali mengacaukan penyelenggaraan haji di masa lalu. Misalnya, masalah daftar tunggu yang panjang yang harus ditanggung banyak jamaah. Pemerintah juga harus memikirkan perawatan ekstra bagi jamaah yang sudah lanjut usia.
Prabowo, yang melaksanakan haji pada 1991, telah berjanji bahwa pemerintahannya akan memberikan layanan terbaik kepada para jamaah. Ia juga berjanji berusaha menurunkan biaya haji lebih banyak lagi tahun depan, setelah tahun ini mengurangi biaya sekitar Rp4 juta (240 dolar Amerika) per orang.
Pemerintahan Prabowo juga telah membentuk Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) yang telah lama ditunggu-tunggu. BP Haji akan mengambil alih pengelolaan haji dari Kementerian Agama paling cepat tahun depan. Pembentukan badan tersebut diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Meskipun telah puluhan tahun berpengalaman dalam mengelola pemberangkatan haji, negara ini banyak dikritik karena buruknya tata kelola pengurusan jemaah. Kritik menyasar mulai dari kurangnya penginapan bagi jamaah hingga penggelapan dana haji.
Tahun lalu, misalnya, para jamaah haji mengeluhkan penundaan penerbangan. Mereka juga mengeluhkan tenda sementara, yang disediakan pemerintah di Mina dan Arafah, yang pemesanannya tumpang tindih, penuh sesak, atau AC-nya rusak. Lalu ada juga insiden keracunan makanan, yang mendorong DPR untuk menyelidiki masalah tersebut.
Masalah kesehatan juga dihadapi para jamaah haji, yang melakukan perjalanan di bawah terik matahari musim panas. Tahun lalu, lebih dari 700 jamaah dari seluruh dunia meninggal dunia selama masa ibadah haji.
Untuk musim haji 2025, pemerintah Saudi telah menetapkan kuota sebanyak 221.000 jamaah untuk Indonesia. Sebagian besar kursi diberikan kepada jamaah yang mendaftar melalui program haji reguler yang biayanya paling terjangkau, yang disubsidi oleh pemerintah. Program ini terkenal dengan masa tunggu yang lama. Sisa kuota dialokasikan untuk program khusus dan eksklusif dengan masa tunggu yang lebih pendek, yang dilengkapi fasilitas tambahan, tentu dengan harga yang lebih tinggi.
Rasa putus asa yang muncul terkait tata cara pengaturan jemaah dari Indonesia telah mendorong beberapa orang untuk mencoba naik haji tanpa visa yang benar. Minggu lalu, otoritas Arab Saudi menangkap 30 warga negara Indonesia di Bandara Internasional King Abdul Aziz di Jeddah. Mereka ditangkap karena memasuki negara tersebut untuk pergi haji tanpa visa yang sesuai.
Ketika jamaah dari berbagai daerah di seluruh Indonesia tiba secara berkelompok di Jeddah atau Madinah sepanjang bulan, orang-orang lain yang masih belum dapat giliran akan menunggu untuk pergi haji, lalu usia mereka bertambah seiring berjalannya waktu.
Haji merupakan perjalanan ziarah yang wajib, setidaknya sekali seumur hidup, bagi semua muslim yang secara fisik dan finansial mampu melakukannya. Jika sistem kuota dan daftar tunggu diterapkan secara efisien dan transparan, serta semua calon jamaah diberi kesempatan setara untuk menunaikan kewajiban agamanya, seharusnya semua sudah cukup.
Pemerintah harus belajar bahwa akses terhadap pengalaman haji yang aman, serta kesempatan memperkaya spiritual, merupakan hak dasar bagi seluruh umat Islam Indonesia.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.