Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsPara kritikus menduga proyek tersebut bertujuan untuk menyanjung pemerintahan yang sedang menjabat dan akan menjadi "sejarah resmi" dalam buku pelajaran di semua tingkat pendidikan, setidaknya selama masa jabatan lima tahun Prabowo.
Rencana Menteri Kebudayaan Fadli Zon untuk meluncurkan buku sejarah Indonesia yang baru ditulis ulang, pada 17 Agustus, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan ke-80 negara ini, memicu antisipasi sekaligus kontroversi. Digambarkan sebagai "hadiah istimewa", inisiatif tersebut menimbulkan pertanyaan tentang apakah penulisan ulang sejarah negara akan menyatukan bangsa atau memicu babak baru perdebatan. Pertanyaan mengemuka, terutama mengingat preseden sejarah negara ini tentang "pemenang yang menulis sejarah" dan kekhawatiran bahwa "menulis ulang masa lalu" dapat dimanfaatkan oleh kaum populis.
Waktu sekarang ini menjadi sangat penting karena Presiden Prabowo Subianto, yang juga atasan Fadli di Partai Gerindra, mengambil alih kekuasaan setelah memenangkan pemilihan umum 2024 secara telak. Namun, masa lalu mantan jenderal Angkatan Darat itu sendiri mencakup kontroversi yang masih belum terselesaikan.
Fadli menegaskan bahwa "Sejarah akan ditulis secara benar." Buku-buku karyanya sendiri, termasuk tulisan seperti Politik Huru Hara Mei 98, dan The IMF Game: The Role of the IMF in Bringing Down the Suharto Regime in May 1998, menawarkan wawasan melalui perspektifnya.
Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia melibatkan lebih dari 100 sejarawan dari berbagai universitas. Mereka telah bekerja selama beberapa bulan terakhir. Para sejarawan ini bertugas menulis, merevisi, dan mengedit narasi baru berdasarkan referensi dan studi ilmiah. Bahan referensi termasuk buku-buku sejarah yang diterbitkan sebelumnya.
Buku sejarah yang baru akan menelusuri kilas balik keberadaan manusia di Indonesia dari Homo erectus hingga penjajahan Belanda. Lalu, khususnya, tentang pemilihan Prabowo sebagai presiden. Revisi utama akan membantah pemahaman lama bahwa Belanda memerintah negara kepulauan Indonesia selama 350 tahun, dan menunjukkan periode pendudukan yang jauh lebih singkat. Revisi ini menimbulkan banyak pertanyaan. Tentu hal itu dapat memunculkan anggapan bahwa revisi ini berlebihan, karena menghadirkan perubahan naratif mendasar dari suatu periode yang sangat mengakar dalam historiografi Indonesia, sejak kemerdekaan pada 1945. Fakta adanya penjajahan Belanda tidak dapat disangkal.
Meskipun pelajaran sejarah dapat menjadi vital untuk mencegah terulangnya kesalahan masa lalu, seperti pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan, banyak pihak yang skeptis bahwa versi sejarah baru ini akan membahas "tindakan memalukan" di masa lalu. Para kritikus menduga proyek penulisan ulang sejarah bertujuan untuk menyanjung pemerintah yang sedang berkuasa dan akan menjadi "sejarah resmi" dalam buku pelajaran di semua tingkat pendidikan, setidaknya untuk masa jabatan Prabowo selama lima tahun.
Presiden Prabowo secara terbuka menyatakan kekagumannya kepada mantan ayah mertuanya, Soeharto, yang mengundurkan diri pada Mei 1998. Soeharto mundur setelah terjadi protes massa yang menuntut reformasi. Prabowo juga secara konsisten menganjurkan agar Soeharto diberi status pahlawan nasional. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, Presiden punya kewenangan untuk memberi anugerah gelar anumerta ini, sehingga kemungkinan besar pemberian gelar akan terjadi tahun ini.
Kekhawatiran di kalangan sejarawan dan aktivis hak asasi manusia makin besar mengenai potensi revisi sejarah atas peristiwa kejahatan masa lalu, khususnya yang terjadi pada masa Orde Baru dan era Reformasi. Ada kekhawatiran bahwa narasi baru tersebut mungkin menekankan pencapaian seraya mengecilkan atau bahkan menghilangkan masalah dan pelanggaran yang terjadi selama periode tersebut.
Ketua Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) Marzuki Darusman, yang juga mantan jaksa agung, menyebut bahwa proyek tersebut adalah upaya berbahaya untuk "merekayasa masa lalu". Ia menegaskan bahwa pemerintah bertujuan membangun satu interpretasi yang dominan atas sejarah bangsa.
Meskipun Fadli, sebagai Menteri Kebudayaan, punya kewenangan untuk menerbitkan revisi sejarah tersebut, banyak yang berharap ia tidak akan terburu-buru mengamanatkan penggunaannya di lembaga pendidikan. Pertanyaan mendasarnya tetap: Apa urgensi sebenarnya di balik penulisan ulang sejarah ini?
Bagi rezim otoriter, rekonstruksi masa lalu dimaksudkan untuk menciptakan sejarah monumental yang menguntungkannya. Lebih dari itu, satu interpretasi tunggal atas sejarah nasional akan berfungsi sebagai alat untuk memaksakan kontrol pemerintah atas pemikiran dan perilaku publik.
Kami setuju dengan sentimen bahwa "sejarah adalah wacana yang dinamis, dan bukan dogma". Tetapi menulis ulang sejarah tanpa ada konsultasi dengan masyarakat luas dapat mengarah pada pemujaan yang tidak semestinya atas pencapaian Orde Baru dan era Reformasi, sekaligus meminimalkan masalah yang muncul selama masa itu. Padahal, beberapa masalah di antaranya masih kita hadapi saat ini.
Banyak yang percaya bahwa perayaan Hari Kemerdekaan ke-80 dapat secara lebih produktif fokus pada pameran kemajuan teknologi dan pembangunan ekonomi yang pesat, serta pada penyediaan lebih banyak kesempatan kerja bagi kaum muda. Dengan begitu, perayaan akan menawarkan "hadiah" yang lebih konkret bagi bangsa.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.